Bintang
itu kian terang,
Lengkapi
sendunya nyayian alam….
Indah
namun mengapa semuanya seakan hanya fatamorgana..
Ya
Rob,, apa yang terjadi dengan ku…
Aku temukan sesosok pemuda.
Terlihat dia agak terburu-buru dengan membawa sebuah bungkusan di tangannya.
Setengah berlari kususul pemuda itu lalu segera kusapa dia.
“ Assalamu`alaikum,, !”
“ Wa`alaikumsalam, !” pemuda itu
menoleh kearahku dengan heran. Sempat mata kami saling bertemu pandang. Aku
merasa ada yang aneh saat aku menatap wajahnya, aku seperti mengenal pemuda
ini, kira-kira siapa pemuda ini? Tapi segera kutundukkan kepalaku karena ku
menyadari aku bukanlah mukhrimnya.
“ Ma`af karena aku menghentikan
langkahmu. Aku, aku cuma mau Tanya rumah pak RT itu dimana ya ?” tanyaku agak
kaku.
“ Owh, kamu baru pindah ke sini
yah ? Dari sini kamu lurus saja, nanti di pertigaan jalan itu kamu belok kiri.”
Sambil menunjuk pertigaan jalan yang memang tak jauh dari tempat kami sekarang.
“ Terimakasih dan ma`af sudah
merepotkan ! ”
“ Iya sama-sama.”
“ Assalamu`alaikum.”
“ Wa`alaikumsalam.”
Segera kutinggalkan pemuda itu.
Meskipun pertemuan itu hanya sekejap, tapi entah kenapa hingga malam ini seakan
wajah pemuda itu terpampang jelas didepan wajahku. Astaghfirullah, kenapa aku
jadi begini.
Sudah seminggu aku tinggal
disini, ternyata apa yang dikatakan oleh Abi dan Umi ada benarnya juga. Dengan
mudah aku bisa menyesuaikan diri di tempat ini. Dan sore ini sudah kuputuskan
aku akan berkeliling.
Setelah sholat ashar, aku menuju
taman yang ada didekat kompleks rumahku. Meski berada di tengah-tengah hiruk
pikuk ramainya ibu kota, taman itu tetap nampak asri. Kususuri jalan setapak
demi setapak, perlahan tapi pasti sampailah aku di sebuah ayunan yang tampak
kusam tapi cukup kuat untuk menopang badan dewasa sepertiku.
Entah kenapa suasana yang tenang
ini membuatku terlempar jauh ke masa silam. Bayangan – bayangan masa lalu itu
seakan menjadi nyata. Masa saat aku bermain dengan serunya bersama Rizal
sahabatku. Sahabat terbaik sampai kapanpun, meski masih ada masalah diantara
kita.
Sudah belasan purnama, bahkan
ribuan senja kami tidak pernah bertukar kabar. Mau tidak mau kami harus saling
berjauhan hanya karena sifat kami yang kekanak-kanakan. Andai waktu itu
terulang kembali, ingin aku perbaiki semuanya. Tapi sudahlah, saat-saat itu tak
mungkin terulang.
Entah sudah berapa lama aku
terbawa kenangan masa lalu, sampai akhirnya aku dikejutkan oleh sebuah suara,
suara itu pernah ku dengar tapi entah dimana, segera ku balikkan badan dan ku
temukan sesosok pemuda tampan.
“ Assalamualaikum.” Sapa pemuda
itu dengan senyum yang menyerinai indah di wajahnya.
“Wa`alaikumsalam. Kamu cowok yang
tadi pagi kan ?”
“ Ah, rupanya kamu masih ingat
aku ya? Sedang apa disini, kok sendirian ?”
“ Aku cuma ingin jalan – jalan
saja !” Kurasa perkataanku barusan terlalu ketus padanya, tapi saat itu juga
rasa keingintahuanku muncul kembali, siapa kiraanya pemuda ini.
“ Kita belum kenalan kan? Ya sudah,
kenalin dech, aku Rizal !” kata pemuda itu sambil mengulurkan tangannya.
“ Aku Amanda.” Aku tersenyum tapi
aku tidak menjabat tangannya, aku hanya melakukan salam ala Islam karena bukan
mukhrim dan nampaknya dia mengerti maksudku. Meski kini aku tahu siapa nama
pemuda ini, rasa keingintahuanku akan dirinya masih saja meluap-luap.
“ Bolehkah aku tahu nama
lengkapmu ?” terasa kurang sopan memang karena kami baru saja berkenalan, tapi
setidaknya sekarang aku bisa mengurangi rasa keingintahuanku saat ini.
“ Oh..tentu. Rizal Pramana, itu
namaku. Baguskan ?” sambil tersenyum jenaka padaku. Tapi aku tak memperdulikan
itu. Saat itu sekujur badanku serasa lemas. Rizal Pramana, itu nama yang tak
asing bagiku. Pemuda yang selama ini aku cari. Ya Roob, benarkah ini. Apa ini
hanya bagian bunga tidurku yang panjang.
“ Rizal, apa kamu masih ingat aku
? A,,a.aku. aku Amanda Radisty, teman masa kecilmu dulu.” Tiba – tiba muncul
keberanianku untuk mengatakan itu. Nada bicaraku cukup datar, tapi nampaknya
cukup mengejutkan Rizal pula.
Hening yang kurasa, tak satupun
dari kami yang berani memecah keheningan itu. Tapi semua berubah ketika langit
tak lagi dapat membendung hujan, tetesan – tetesan air jatuh dengan derasnya. Kami
segera berlari mencari tempat berteduh.
Badan kami memang tidak terlalu
basah, badanku tak tenang karena angin yang berhembus cukup menusuk setiap
persendian dan tulang – tulangku. Terlintas di benakku wajah Abi yang mungkin
cemas karena sampai saat ini aku belum pulang. Dan sekarang cuaca tak bersahabat
denganku.
Kini hanya tinggal kami berdua,
aku dan Rizal. Entah apa yang dipikirkannya saat ini. Aku hanya berharap
pertemuan kali ini menjadi awal yang baik untuk persahabatan kami berdua.
“ A..a.amanda, pakai ini !” Rizal
menyodorkan jaket warna hitam yang dikenakannya.
“ Ta,ta..pi bagaimana denganmu.
Tentunya kau sendiri akan kedi.. !” sebelum aku menyelesaikan kalimatku, Rizal
sudah menyela dengan senyuman singkat tapi terlihat tulus.
“ Sudah pakai aja, aku gak
apa-apa !” Dia tersenyum, lalu tertawa lepas.
Heran dan bingung, itu yang
kurasa. Apakah ini pertanda baik bagiku. Mungkin persahabatan yang sekian lama
telah renggang kini dapat kembali mengukir kisah jenaka nan indah. Ya, Roob.
Aku percaya semua takdir-Mu.
“ Kenapa ketawa sih, ada yang
lucu ?”
“ Tidak, aku hanya ingat masa
lalu sewaktu kita masih kecil dulu. Kamu masih sama seperti Manda yang dulu ya.
Owh iya, apa kamu sudah lupa tentang masa kecil kita ?”
“ Aku masih ingat.” Jawabku lemas
karena tiba-tiba kenangan pahit saat aku akhirnya harus berpisah dengan
Rizalpun ikut menghiasi pikiranku saat ini.
“ Dan tentunya kamu masih ingat
betulkan masalah apa yang akhirnya membuat kita tidak lagi bicara satu sama
lain ? saat itu kita seperti anak kecil banget ya ?” Dengan nada bicaranya yang
santai dan diikuti tertawa tanpa beban.
Memang benar yang dikatakan Rizal, saat itu
kami memang seperti anak-anak yang masih belum bisa mengontrol emosi dengan
baik. Hanya karena teman-teman kami menganggap kalau kami pacaran, kami saling menjauh
dan akhirnya kami tidak pernah bertegur sapa sampai tibanya hari ini. Mengingat
hal itu, aku jadi tersenyum kecil.
“ Astaghfirullah, aku harus
pulang ke rumah sekarang. Pasti saat ini Abi cemas.” Tiba-tiba aku teringat kembali
Abi dan Umi di rumah.
“ Iya, hujan juga sudah cukup
reda. Aku antar ya!”
“ Tapi tidak baik.seorang cowok
mengantar cewek yang bukan mukhrimnya.” Kataku kemudian.
“ Tapi tidak baik juga, kalau
seorang cowok membiarkan seorang cewek pulang sendirian, apalagi kamu baru mengenal
daerah sini. Benar bukan ?” Sifat Rizal masih sama seperti dulu. Bila sudah
mempunyai keinginan yang kuat pasti tidak akan ada yang bisa mengalahkannya.
Senja itu aku pulang bersama
Rizal, suasanapun sudah tidak sekaku tadi. Dengan dedaunan yang basah karena
hujan, kami saling bercengkrama satu sama lain. Saling bercerita tentang diri
masing-masing. Dijalan sempat kami berpapasan dengan seorang lelaki parobaya
dan nampaknya beliau seperti seorang Kyai. Kyai itu tersenyum pada kami,
kelihatannya Rizal mengenal beliau karena saat itu pula Rizal segera mencium
tangan beliau.
“ Assalamua`alaikum.” Salam Rizal.
“ Wa`alaikumsalam. ”
“ Bapak mau kemana ?” Tanya Rizal
selanjutnya.
“ Bapak cuma mau ke masjid yang
ada di depan. Adik sendiri dari mana dan mau kemana ?”
“ Saya tadi baru dari taman dan
tak sengaja bertemu dengan teman lama. Kenalkan pak, ini Amanda dan selain
teman lama dia juga tetangga baru saya.”
“ Assalamua`alakum.” Salam Amanda
sambil tersenyum simpul ke bapak parobaya itu.
“ Wa`alaikumsalam. Rizal, Amanda
bapak permisi dulu ya, bapak kesana dulu ! keburu maghrib soalnya. Assalamualaikum.”
“ Owh iya pak. Wa`alaikumsalam.”
Jawab kami bebarengan.
Tak terasa suasana begitu indah
ketika aku berjalan dengannya. Setelah sampai dirumah. Rizal menyempatkan diri
tuk bersalam dengan Umi dan Abi. Dan setelah itu dia undur diri kerena mentari
tlah benar-benar berada di pucuk peraduannya.
Entah kenapa seusai sholat
maghrib Umi dan Abi memanggilku. Mereka duduk berdampingan di sofa kuning
ke`emasan. Tatapan mereka begitu dingin padaku. Aku tak tahu kesalahan apa yang
telah kuperbuat saat ini.
“ Umi, Abi, ada apa?” tanyaku
dengan suara lirih.
“ Amanda, duduk sini dengan Umi
!”
Nampaknya Umi dan Abi ingin
berbicara serius dengan ku. Abi memulai pembicaran dan akupun memperhatikan
dengan seksama. Awalnya Abi bertanya padaku apakah ada suatu hubungan antara
aku dengan Rizal. Tentunya aku sangat terkejut mendengar pertanyaan Abi. Memang
selama ini aku sama sekali belum pernah membawa teman lelakiku ke rumah. Yach,
Rizal-lah yang pertama.
Saat itu kucoba menjelaskan pada
Umi dan Abi siapa sebenarnya Rizal itu. Rizal semata-mata hanya teman dekatku
saja sejak kecil dan tidak lebih dari itu. Dan dari sikap Umi dan Abi terlihat
bahwa mereka percaya dengan semua penjelasannku.
Setelah kuutarakan apa yang
sebenarnya terjadi. Abi berpesan padaku.
“ Manda, Islam memperbolehkan
apabila ada seorang bangsa hawa menyukai
bangsa adam, begitu juga sebaliknya.
Tapi yang Abi khawatirkan, anak muda zaman sekarang sangat suka dengan yang
namanya “berpacaran”. Padahal Islam tidak membenarkan hal itu. Islam hanya
memperbolehkan kita berta`aruf , dan
Abi tidak ingin kamu seperti itu.”
tangan Abi menepuk pundakku. Ku tatap wajah Umi dan Abi, mereka
melemparkan senyum penuh kasih sayang padaku.
“ Terima kasih Abi, Umi.”
Kini sang rembulan telah
tergantikan dengan sang mentari yang cerah. Awal yang baik untuk memulai hari
baru di sekolahku yang baru pula. Di sekolah inilah mulai ku`ukir kisah-kisah
layaknya pelajar SMA pada umumnya. Cerita bahagia, menyenangkan bahkan pilu dan
menyedihkan semua terangkum jadi satu. Terkemas menjadi sebuah kenangan yang
cukup mengesankan bagiku.
Di pagi ini pula aku mendapatkan
kejutan yang entah menggembirakan atau malah menyedihkan. Ternyata Rizal juga
bersekolah ditempat yang sama denganku. Namun kami tidak sekelas. Di sekolah
kami jarang bertegur sapa. Sungguh suasana yang kontras, karena di luar sekolah
kami begitu dekat.
Di suatu sore, aku mendapat pesan
singkat dari Rizal. Dia menyuruhku tuk datang menemuinya di taman. Saat itu kuputuskan
tuk berbohong pada Abi karena aku takut Abi akan marah kalau saja Abi tahu yang
sebenarnya. Dan sesampainya aku di sana Rizal menghampiriku. Dia membawa seikat
bunga anggrek lalu diberikannya padaku. Betapa bahagianya aku saat itu. Tapi
aku masih bingung apa maksud Rizal dengan semua ini.
“ Amanda.. aku ingin berbicara
sesuatu padamu.” Kata Rizal tapi dengan ekspresi yang kaku dan tegang.
“ Ada yang aneh denganmu Rizal ?
apa yang sebenarnya ingin kamu katakan ?”
“ Aku… aku.. Emmh, maksudku,
maukah kau.. maukah kau jadi pacarku ?”
Kata-kata Rizal itu cukup
membuatku tersentak. Kenapa… Kenapa semuanya jadi begini? Disisi lain aku
bahagia karena akhirnya Rizal mengatakan ini padaku. Tapi saat itu pula
terlintas dibenakku semua perkataan Umi dan Abi pada tempo hari padaku. Lama
kuterdiam dan membisu.
“Amanda, aku tidak memaksamu
untuk menjawabnya sekarang. Tapi aku berharap kau dapat memberikan jawaban itu
secepatnya.” Lanjut Rizal yang mungkin saat itu melihatku berdiri kaku bagai
orang tersambar petir di siang bolong.
Aku berjalan sedikit gontai
ketika melewati jalan beraspal yang membawaku sampai kerumah. Dikamarku
beribu-ribu kali kejadian tadi sore terlintas,seakan-akan tepat didepan mataku.
Hingga akhirnya kutemukan jawabannya.
Meski aku dibuat pusing dengan
keputusan yang aku ambil. Aku merasa tak perlu sholat istikharoh karena kini
aku sudah cukup merasa yakin meskipun aku harus berbuat nekat melanggar ucapan
Abi.
Sore hari berikutnya, senja hari
yang amat indah. Takpernah kurasakan haribegitu indah seperti saat ini. Setelah
bertemu Rizal, ku jelaskan semuanya. Rizalpun bersorak mendengar jawabanku. Dan
mulai saat itu kuukir hari-hari indah bersama Rizal.
Sebulan telah berlalu. Begitu
juga kebohongan-kebohonganku. Aku sering berbohong pada Abi hanya untuk menemui
Rizal. Belajar kelompok, ekskul, latihan atau apalah yang kukira cukup
meyakinkan agar Abi mengijinkanku keluar rumah.
Dan Rizal. Sebenarnya dia masih
perhatian denganku. Tapi sekarang, aku merasa ada jurang pembatas antara kami
berdua. Rizal sudah jarang bertukar cerita atau apapun yang berkenaan dengan
dirinya.
Sampai dua hari berikutnya aku
bertemu dengan Rizal di taman seperti biasa. Kutanyakan padanya apa yang
membuatnya kini berubah.
“ Amanda, aku tidak ingin
berbohong padamu. Karena aku terlalu sayang. Tapi aku tidak bisa memberikan
seluruh kasih sayangku padamu.” Ucap Rizal.
“ Apa maksudmu ?”
“ Aku.. aku, aku telah membagi
kasih sayangku pada seseorang. Dan saat ini tidak hanya kamu yang ada dihatiku!
Ma`afkan aku Manda ! Ma `af kan
aku.”
“ Kamu, kamu. Kenapa kamu gini!
Padahal selama ini aku tlah berbohong pada Abi. Hanya demi kamu Rizal. Hanya
demi kamu!”
Seribu langkah kaki kecilku,
bertolak meninggalkan bayangan Rizal dari pelupuk mata. Air matapun turut
membasahi pipiku. Kenangan indah bersama Rizal kini tak pernah Nampak. Yang
tersisa hanyalah kepedihan disenja itu. Senja yang nampak indah tapi seketika
itu pula turut menghancurkan impian dan semua harapanku.
Aku tertegun lemas.
Kelambu-kelambu menghalangi pandangan. Aku merebahkan badan ini di tempat yang paling
nyaman, tapi tidak untuk saat itu. Berhari-hari aku mengurung diri di kamar.
Abi dan Umi sering mengetuk pintu kamarku. Namun aku selalu mengabaikannya.
Rasa bersalahpun kini semakin
kurasa. Entah bagaimana caranya aku meminta maaf pada Abi dan Umi. Aku telah
mengabaikan ucapan beliau dan saat ini aku merasa telah menjadi anak yang
paling durhaka. Ya Roob, berilah aku ketegaran untuk menghadapi masalah ini
serta berilah aku keberanian untuk mengungkap semua kesalahanku pada Umi dan
Abi.
Telah lama aku mengurung diri di
dalam kamar. Dan kiniku sadari ini bukanlah awal kehancuranku. Aku tak boleh
berlarut-larut hanyut dalam kesedihan dan kepiluanku ini.
“ Umi, Abi, Manda ingin bicara.”
“ Alhamdulillah, akhirnya kamu
mau keluar kamar juga.kamu kenapa anakku ?” Tanya Umi yang kemudian langsung
memelukku.
“ Sudah, sini Amanda. Duduk dekat
Abi.”
Ku duduk disamping Abi dan
kemudian diikuti Umi. Mulut ini masih saja terasa amat berat. Sebelum bicara kuatur nafas ini.
“ Emm,m, Umi, Abi. Maafkan
Manda.! Manda telah berbohong pada kalian.” Tak terasa airmata ini kembali terurai.
“ Manda, jangan nangis. Memangnya
kamu berbohong apa pada Umi dan Abi?” Umi mengelusku dan mengangkat daguku.
“ Dulu, Abi pernah menasehati
Manda kalau pacaran itu dilarang agama Islam. Tapi Amanda melanggar nasihat
Abi. Selang beberapa hari kemudian, Amanda malah berpacaran dengan Rizal.
Maafkan Manda Abi, Umi. Maafkan Manda.” Aku berbicara dengan sesenggukan. Dan
air mata ini semakin tak terbendung lagi.
“ Lalu, bagaimana hubunganmu
dengan Rizal sekarang ?” Tanya Abi kemudian.
“ Kemarin, Manda baru tahu kalau
Rizal tidak hanya menyukai Manda. Tapi dia juga menyukai orang lain.” Setelah
melanjutkan kalimatku, entah kenapa Abi terdiam. Aku tak berani menatap wajah
Abi. Tapi tiba-tba Abi berkata.
“ Sabar ya nak. Kali ini Allah
memberikan cobaan padamu. Banyak hikmah yang dapat kamu petik. Mungkin saat ini
belum waktunya kamu untuk mengenal hal itu.”
“ Iya Abi, maafkan Manda.”
“ Sudah jangan minta maaf. Abi
tidak pernah marah pada Manda. Yang penting ingat selalu pesan Abi dan jangan
pernah mengulangi hal ini lagi ya.” Abi tersenyum penuh kasih sayang padaku
lalu memelukku.
“ Terimakasih Abi, terimakasih.”
Aku masih sesenggukan.
Saat itu pula aku bertekat, aku
tidak akan mengulang kesalahan itu lagi. Kesalahan yang tidak hanya membuatku
berdusta pada orang tua, tapi juga pada agama. Aku tidak merusak kembali
dinding agama yang sudah kubangun sejak aku kecil.
Kejadian itu memang telah
membuatku tersadar. Bahwa perkembangan agama Islam juga ditentukan dengan moral
para pemeluknya. Bolehlah jika bangsa hawa
menyukai bangsa adam ataupun
sebaliknya, tapi jangan dilampiaskan dengan berpacaran. Karena pacaran tujuh
puluh lima persen mengundang syetan yang nantinya juga akan merusak moral kita.
Dan mulailah mencintai sesuatu hanya karena Allah, maka suatu saat jika kita
kehilangannya kita akan dengan ikhlas bisa melepaskannya.
TAMAT