Kamis, 24 Mei 2012

CINTA TERINDAH CINTA KARENANYA

Bintang itu kian terang,
Lengkapi sendunya nyayian alam….
Indah namun mengapa semuanya seakan hanya fatamorgana..
Ya Rob,, apa yang terjadi dengan ku…
               Aku temukan sesosok pemuda. Terlihat dia agak terburu-buru dengan membawa sebuah bungkusan di tangannya. Setengah berlari kususul pemuda itu lalu segera kusapa dia.
               “ Assalamu`alaikum,, !”
               “ Wa`alaikumsalam, !” pemuda itu menoleh kearahku dengan heran. Sempat mata kami saling bertemu pandang. Aku merasa ada yang aneh saat aku menatap wajahnya, aku seperti mengenal pemuda ini, kira-kira siapa pemuda ini? Tapi segera kutundukkan kepalaku karena ku menyadari aku bukanlah mukhrimnya.
               “ Ma`af karena aku menghentikan langkahmu. Aku, aku cuma mau Tanya rumah pak RT itu dimana ya ?” tanyaku agak kaku.
               “ Owh, kamu baru pindah ke sini yah ? Dari sini kamu lurus saja, nanti di pertigaan jalan itu kamu belok kiri.” Sambil menunjuk pertigaan jalan yang memang tak jauh dari tempat kami sekarang.
               “ Terimakasih dan ma`af sudah merepotkan ! ”
               “ Iya sama-sama.”
               “ Assalamu`alaikum.”
               “ Wa`alaikumsalam.”
               Segera kutinggalkan pemuda itu. Meskipun pertemuan itu hanya sekejap, tapi entah kenapa hingga malam ini seakan wajah pemuda itu terpampang jelas didepan wajahku. Astaghfirullah, kenapa aku jadi begini.
               Sudah seminggu aku tinggal disini, ternyata apa yang dikatakan oleh Abi dan Umi ada benarnya juga. Dengan mudah aku bisa menyesuaikan diri di tempat ini. Dan sore ini sudah kuputuskan aku akan berkeliling.
               Setelah sholat ashar, aku menuju taman yang ada didekat kompleks rumahku. Meski berada di tengah-tengah hiruk pikuk ramainya ibu kota, taman itu tetap nampak asri. Kususuri jalan setapak demi setapak, perlahan tapi pasti sampailah aku di sebuah ayunan yang tampak kusam tapi cukup kuat untuk menopang badan dewasa sepertiku.
               Entah kenapa suasana yang tenang ini membuatku terlempar jauh ke masa silam. Bayangan – bayangan masa lalu itu seakan menjadi nyata. Masa saat aku bermain dengan serunya bersama Rizal sahabatku. Sahabat terbaik sampai kapanpun, meski masih ada masalah diantara kita.
               Sudah belasan purnama, bahkan ribuan senja kami tidak pernah bertukar kabar. Mau tidak mau kami harus saling berjauhan hanya karena sifat kami yang kekanak-kanakan. Andai waktu itu terulang kembali, ingin aku perbaiki semuanya. Tapi sudahlah, saat-saat itu tak mungkin terulang.
               Entah sudah berapa lama aku terbawa kenangan masa lalu, sampai akhirnya aku dikejutkan oleh sebuah suara, suara itu pernah ku dengar tapi entah dimana, segera ku balikkan badan dan ku temukan sesosok pemuda tampan.
               “ Assalamualaikum.” Sapa pemuda itu dengan senyum yang menyerinai indah di wajahnya.
               “Wa`alaikumsalam. Kamu cowok yang tadi pagi kan ?”
               “ Ah, rupanya kamu masih ingat aku ya? Sedang apa disini, kok sendirian ?”
               “ Aku cuma ingin jalan – jalan saja !” Kurasa perkataanku barusan terlalu ketus padanya, tapi saat itu juga rasa keingintahuanku muncul kembali, siapa kiraanya pemuda ini.
               “ Kita belum kenalan kan? Ya sudah, kenalin dech, aku Rizal !” kata pemuda itu sambil mengulurkan tangannya.
               “ Aku Amanda.” Aku tersenyum tapi aku tidak menjabat tangannya, aku hanya melakukan salam ala Islam karena bukan mukhrim dan nampaknya dia mengerti maksudku. Meski kini aku tahu siapa nama pemuda ini, rasa keingintahuanku akan dirinya masih saja meluap-luap.
               “ Bolehkah aku tahu nama lengkapmu ?” terasa kurang sopan memang karena kami baru saja berkenalan, tapi setidaknya sekarang aku bisa mengurangi rasa keingintahuanku saat ini.
               “ Oh..tentu. Rizal Pramana, itu namaku. Baguskan ?” sambil tersenyum jenaka padaku. Tapi aku tak memperdulikan itu. Saat itu sekujur badanku serasa lemas. Rizal Pramana, itu nama yang tak asing bagiku. Pemuda yang selama ini aku cari. Ya Roob, benarkah ini. Apa ini hanya bagian bunga tidurku yang panjang.
               “ Rizal, apa kamu masih ingat aku ? A,,a.aku. aku Amanda Radisty, teman masa kecilmu dulu.” Tiba – tiba muncul keberanianku untuk mengatakan itu. Nada bicaraku cukup datar, tapi nampaknya cukup mengejutkan Rizal pula.
               Hening yang kurasa, tak satupun dari kami yang berani memecah keheningan itu. Tapi semua berubah ketika langit tak lagi dapat membendung hujan, tetesan – tetesan air jatuh dengan derasnya. Kami segera berlari mencari tempat berteduh.
               Badan kami memang tidak terlalu basah, badanku tak tenang karena angin yang berhembus cukup menusuk setiap persendian dan tulang – tulangku. Terlintas di benakku wajah Abi yang mungkin cemas karena sampai saat ini aku belum pulang. Dan sekarang cuaca tak bersahabat denganku.
               Kini hanya tinggal kami berdua, aku dan Rizal. Entah apa yang dipikirkannya saat ini. Aku hanya berharap pertemuan kali ini menjadi awal yang baik untuk persahabatan kami berdua.
               “ A..a.amanda, pakai ini !” Rizal menyodorkan jaket warna hitam yang dikenakannya.
               “ Ta,ta..pi bagaimana denganmu. Tentunya kau sendiri akan kedi.. !” sebelum aku menyelesaikan kalimatku, Rizal sudah menyela dengan senyuman singkat tapi terlihat tulus.
               “ Sudah pakai aja, aku gak apa-apa !” Dia tersenyum, lalu tertawa lepas.
               Heran dan bingung, itu yang kurasa. Apakah ini pertanda baik bagiku. Mungkin persahabatan yang sekian lama telah renggang kini dapat kembali mengukir kisah jenaka nan indah. Ya, Roob. Aku percaya semua takdir-Mu.
               “ Kenapa ketawa sih, ada yang lucu ?”
               “ Tidak, aku hanya ingat masa lalu sewaktu kita masih kecil dulu. Kamu masih sama seperti Manda yang dulu ya. Owh iya, apa kamu sudah lupa tentang masa kecil kita ?”
               “ Aku masih ingat.” Jawabku lemas karena tiba-tiba kenangan pahit saat aku akhirnya harus berpisah dengan Rizalpun ikut menghiasi pikiranku saat ini.
               “ Dan tentunya kamu masih ingat betulkan masalah apa yang akhirnya membuat kita tidak lagi bicara satu sama lain ? saat itu kita seperti anak kecil banget ya ?” Dengan nada bicaranya yang santai dan diikuti tertawa tanpa beban.
                Memang benar yang dikatakan Rizal, saat itu kami memang seperti anak-anak yang masih belum bisa mengontrol emosi dengan baik. Hanya karena teman-teman kami menganggap kalau kami pacaran, kami saling menjauh dan akhirnya kami tidak pernah bertegur sapa sampai tibanya hari ini. Mengingat hal itu, aku jadi tersenyum kecil.
               “ Astaghfirullah, aku harus pulang ke rumah sekarang. Pasti saat ini Abi cemas.” Tiba-tiba aku teringat kembali Abi dan Umi di rumah.
               “ Iya, hujan juga sudah cukup reda. Aku antar ya!”
               “ Tapi tidak baik.seorang cowok mengantar cewek yang bukan mukhrimnya.”  Kataku kemudian.
               “ Tapi tidak baik juga, kalau seorang cowok membiarkan seorang cewek pulang sendirian, apalagi kamu baru mengenal daerah sini. Benar bukan ?” Sifat Rizal masih sama seperti dulu. Bila sudah mempunyai keinginan yang kuat pasti tidak akan ada yang bisa mengalahkannya.
               Senja itu aku pulang bersama Rizal, suasanapun sudah tidak sekaku tadi. Dengan dedaunan yang basah karena hujan, kami saling bercengkrama satu sama lain. Saling bercerita tentang diri masing-masing. Dijalan sempat kami berpapasan dengan seorang lelaki parobaya dan nampaknya beliau seperti seorang Kyai. Kyai itu tersenyum pada kami, kelihatannya Rizal mengenal beliau karena saat itu pula Rizal segera mencium tangan beliau.
               “ Assalamua`alaikum.”  Salam Rizal.
               “ Wa`alaikumsalam. ”
               “ Bapak mau kemana ?” Tanya Rizal selanjutnya.
               “ Bapak cuma mau ke masjid yang ada di depan. Adik sendiri dari mana dan mau kemana ?”
               “ Saya tadi baru dari taman dan tak sengaja bertemu dengan teman lama. Kenalkan pak, ini Amanda dan selain teman lama dia juga tetangga baru saya.”
               “ Assalamua`alakum.” Salam Amanda sambil tersenyum simpul ke bapak parobaya itu.
               “ Wa`alaikumsalam. Rizal, Amanda bapak permisi dulu ya, bapak kesana dulu ! keburu maghrib soalnya. Assalamualaikum.”
               “ Owh iya pak. Wa`alaikumsalam.” Jawab kami bebarengan.
               Tak terasa suasana begitu indah ketika aku berjalan dengannya. Setelah sampai dirumah. Rizal menyempatkan diri tuk bersalam dengan Umi dan Abi. Dan setelah itu dia undur diri kerena mentari tlah benar-benar berada di pucuk peraduannya.
               Entah kenapa seusai sholat maghrib Umi dan Abi memanggilku. Mereka duduk berdampingan di sofa kuning ke`emasan. Tatapan mereka begitu dingin padaku. Aku tak tahu kesalahan apa yang telah kuperbuat saat ini.
               “ Umi, Abi, ada apa?” tanyaku dengan suara lirih.
               “ Amanda, duduk sini dengan Umi !”
               Nampaknya Umi dan Abi ingin berbicara serius dengan ku. Abi memulai pembicaran dan akupun memperhatikan dengan seksama. Awalnya Abi bertanya padaku apakah ada suatu hubungan antara aku dengan Rizal. Tentunya aku sangat terkejut mendengar pertanyaan Abi. Memang selama ini aku sama sekali belum pernah membawa teman lelakiku ke rumah. Yach, Rizal-lah yang pertama.
               Saat itu kucoba menjelaskan pada Umi dan Abi siapa sebenarnya Rizal itu. Rizal semata-mata hanya teman dekatku saja sejak kecil dan tidak lebih dari itu. Dan dari sikap Umi dan Abi terlihat bahwa mereka percaya dengan semua penjelasannku.
               Setelah kuutarakan apa yang sebenarnya terjadi. Abi berpesan padaku.
               “ Manda, Islam memperbolehkan apabila ada seorang bangsa hawa menyukai bangsa adam, begitu juga sebaliknya. Tapi yang Abi khawatirkan, anak muda zaman sekarang sangat suka dengan yang namanya “berpacaran”. Padahal Islam tidak membenarkan hal itu. Islam hanya memperbolehkan kita berta`aruf , dan Abi tidak ingin kamu seperti itu.”  tangan Abi menepuk pundakku. Ku tatap wajah Umi dan Abi, mereka melemparkan senyum penuh kasih sayang padaku.
               “ Terima kasih Abi, Umi.”
               Kini sang rembulan telah tergantikan dengan sang mentari yang cerah. Awal yang baik untuk memulai hari baru di sekolahku yang baru pula. Di sekolah inilah mulai ku`ukir kisah-kisah layaknya pelajar SMA pada umumnya. Cerita bahagia, menyenangkan bahkan pilu dan menyedihkan semua terangkum jadi satu. Terkemas menjadi sebuah kenangan yang cukup mengesankan bagiku.
               Di pagi ini pula aku mendapatkan kejutan yang entah menggembirakan atau malah menyedihkan. Ternyata Rizal juga bersekolah ditempat yang sama denganku. Namun kami tidak sekelas. Di sekolah kami jarang bertegur sapa. Sungguh suasana yang kontras, karena di luar sekolah kami begitu dekat.
               Di suatu sore, aku mendapat pesan singkat dari Rizal. Dia menyuruhku tuk datang menemuinya di taman. Saat itu kuputuskan tuk berbohong pada Abi karena aku takut Abi akan marah kalau saja Abi tahu yang sebenarnya. Dan sesampainya aku di sana Rizal menghampiriku. Dia membawa seikat bunga anggrek lalu diberikannya padaku. Betapa bahagianya aku saat itu. Tapi aku masih bingung apa maksud Rizal dengan semua ini.
               “ Amanda.. aku ingin berbicara sesuatu padamu.” Kata Rizal tapi dengan ekspresi yang kaku dan tegang.
               “ Ada yang aneh denganmu Rizal ? apa yang sebenarnya ingin kamu katakan ?”
               “ Aku… aku.. Emmh, maksudku, maukah kau.. maukah kau jadi pacarku ?”
               Kata-kata Rizal itu cukup membuatku tersentak. Kenapa… Kenapa semuanya jadi begini? Disisi lain aku bahagia karena akhirnya Rizal mengatakan ini padaku. Tapi saat itu pula terlintas dibenakku semua perkataan Umi dan Abi pada tempo hari padaku. Lama kuterdiam dan membisu.
               “Amanda, aku tidak memaksamu untuk menjawabnya sekarang. Tapi aku berharap kau dapat memberikan jawaban itu secepatnya.” Lanjut Rizal yang mungkin saat itu melihatku berdiri kaku bagai orang tersambar petir di siang bolong.
               Aku berjalan sedikit gontai ketika melewati jalan beraspal yang membawaku sampai kerumah. Dikamarku beribu-ribu kali kejadian tadi sore terlintas,seakan-akan tepat didepan mataku. Hingga akhirnya kutemukan jawabannya.
               Meski aku dibuat pusing dengan keputusan yang aku ambil. Aku merasa tak perlu sholat istikharoh karena kini aku sudah cukup merasa yakin meskipun aku harus berbuat nekat melanggar ucapan Abi.
               Sore hari berikutnya, senja hari yang amat indah. Takpernah kurasakan haribegitu indah seperti saat ini. Setelah bertemu Rizal, ku jelaskan semuanya. Rizalpun bersorak mendengar jawabanku. Dan mulai saat itu kuukir hari-hari indah bersama Rizal.
               Sebulan telah berlalu. Begitu juga kebohongan-kebohonganku. Aku sering berbohong pada Abi hanya untuk menemui Rizal. Belajar kelompok, ekskul, latihan atau apalah yang kukira cukup meyakinkan agar Abi mengijinkanku keluar rumah.
               Dan Rizal. Sebenarnya dia masih perhatian denganku. Tapi sekarang, aku merasa ada jurang pembatas antara kami berdua. Rizal sudah jarang bertukar cerita atau apapun yang berkenaan dengan dirinya.
               Sampai dua hari berikutnya aku bertemu dengan Rizal di taman seperti biasa. Kutanyakan padanya apa yang membuatnya kini berubah.
               “ Amanda, aku tidak ingin berbohong padamu. Karena aku terlalu sayang. Tapi aku tidak bisa memberikan seluruh kasih sayangku padamu.” Ucap Rizal.
               “ Apa maksudmu ?”
               “ Aku.. aku, aku telah membagi kasih sayangku pada seseorang. Dan saat ini tidak hanya kamu yang ada dihatiku! Ma`afkan aku Manda ! Ma         `af kan aku.”
               “ Kamu, kamu. Kenapa kamu gini! Padahal selama ini aku tlah berbohong pada Abi. Hanya demi kamu Rizal. Hanya demi kamu!”
               Seribu langkah kaki kecilku, bertolak meninggalkan bayangan Rizal dari pelupuk mata. Air matapun turut membasahi pipiku. Kenangan indah bersama Rizal kini tak pernah Nampak. Yang tersisa hanyalah kepedihan disenja itu. Senja yang nampak indah tapi seketika itu pula turut menghancurkan impian dan semua harapanku.
               Aku tertegun lemas. Kelambu-kelambu menghalangi pandangan. Aku merebahkan badan ini di tempat yang paling nyaman, tapi tidak untuk saat itu. Berhari-hari aku mengurung diri di kamar. Abi dan Umi sering mengetuk pintu kamarku. Namun aku selalu mengabaikannya.
               Rasa bersalahpun kini semakin kurasa. Entah bagaimana caranya aku meminta maaf pada Abi dan Umi. Aku telah mengabaikan ucapan beliau dan saat ini aku merasa telah menjadi anak yang paling durhaka. Ya Roob, berilah aku ketegaran untuk menghadapi masalah ini serta berilah aku keberanian untuk mengungkap semua kesalahanku pada Umi dan Abi.
               Telah lama aku mengurung diri di dalam kamar. Dan kiniku sadari ini bukanlah awal kehancuranku. Aku tak boleh berlarut-larut hanyut dalam kesedihan dan kepiluanku ini.
               “ Umi, Abi, Manda ingin bicara.”
               “ Alhamdulillah, akhirnya kamu mau keluar kamar juga.kamu kenapa anakku ?” Tanya Umi yang kemudian langsung memelukku.
               “ Sudah, sini Amanda. Duduk dekat Abi.”
               Ku duduk disamping Abi dan kemudian diikuti Umi. Mulut ini masih saja terasa  amat berat. Sebelum bicara kuatur nafas ini.
               “ Emm,m, Umi, Abi. Maafkan Manda.! Manda telah berbohong pada kalian.” Tak terasa airmata ini kembali terurai.
               “ Manda, jangan nangis. Memangnya kamu berbohong apa pada Umi dan Abi?” Umi mengelusku dan mengangkat daguku.
               “ Dulu, Abi pernah menasehati Manda kalau pacaran itu dilarang agama Islam. Tapi Amanda melanggar nasihat Abi. Selang beberapa hari kemudian, Amanda malah berpacaran dengan Rizal. Maafkan Manda Abi, Umi. Maafkan Manda.” Aku berbicara dengan sesenggukan. Dan air mata ini semakin tak terbendung lagi.
               “ Lalu, bagaimana hubunganmu dengan Rizal sekarang ?” Tanya Abi kemudian.
               “ Kemarin, Manda baru tahu kalau Rizal tidak hanya menyukai Manda. Tapi dia juga menyukai orang lain.” Setelah melanjutkan kalimatku, entah kenapa Abi terdiam. Aku tak berani menatap wajah Abi. Tapi tiba-tba Abi berkata.
               “ Sabar ya nak. Kali ini Allah memberikan cobaan padamu. Banyak hikmah yang dapat kamu petik. Mungkin saat ini belum waktunya kamu untuk mengenal hal itu.”
               “ Iya Abi, maafkan Manda.”
               “ Sudah jangan minta maaf. Abi tidak pernah marah pada Manda. Yang penting ingat selalu pesan Abi dan jangan pernah mengulangi hal ini lagi ya.” Abi tersenyum penuh kasih sayang padaku lalu memelukku.
               “ Terimakasih Abi, terimakasih.” Aku masih sesenggukan.
               Saat itu pula aku bertekat, aku tidak akan mengulang kesalahan itu lagi. Kesalahan yang tidak hanya membuatku berdusta pada orang tua, tapi juga pada agama. Aku tidak merusak kembali dinding agama yang sudah kubangun sejak aku kecil.
               Kejadian itu memang telah membuatku tersadar. Bahwa perkembangan agama Islam juga ditentukan dengan moral para pemeluknya. Bolehlah jika bangsa hawa menyukai bangsa adam ataupun sebaliknya, tapi jangan dilampiaskan dengan berpacaran. Karena pacaran tujuh puluh lima persen mengundang syetan yang nantinya juga akan merusak moral kita. Dan mulailah mencintai sesuatu hanya karena Allah, maka suatu saat jika kita kehilangannya kita akan dengan ikhlas bisa melepaskannya.

TAMAT

let me remember you


Tersenyumlah Anggrekku


s
engaja ku rebahkan badan ini di kursi malas peninggalan nenek. Ku coba alihkan pikiranku sejenak dari puluhan lembar-lembar kertas tugas yang tanpa ampun terus mengusik separuh hidupku. Kulirik Hp ku yang saat itu berdenting, ternyata Herman. Entah kenapa saat itu aku terlalu enggan tuk mengangkat telpon darinya. Memang saat ini hubungan kami sudah agak renggang. Mungkin karena kami terlalu sibuk dengan urusan sekolah masing-masing.
            Pagi yang cerah untuk berjalan-jalan ke taman. Dua jam yang lalu Herman mengirimiku sandek. Dia menyuruhku tuk menemuinya di taman Anggrek tepat pukul 10.00. Dan saat ini waktu telah menunjuk angka 09.55. Itu berarti aku harus menunggu kedatangannya, akupun duduk disalah satu bangku disudut taman. Nampak bunga-bunga anggrek melambai tertiup angin semilir. Sungguh indah.
            “ Hai,Vanda.” Aku langsung menoleh karena ada sebuah suara yang kukenal.
            “Herman, kukira kau akan datang barang dua atau tiga menit lagi ?” tanyaku kemudian. Herman tak menjawab pertanyaanku barusan. Dan aku tak terlalu memperhatikan hal itu. Tapi ekspresi Herman beda dengan biasanya. Kali ini dia nampak tegang, kaku dan bimbang.
            “ Herman, apa kau sedang punya masalah ?”
            “ Vanda, sebenarnya ada yang ingin kusampaikan padamu.” Nada bicaranya cukup datar, tapi semakin membuatku penasaran.
            “ Vanda, kurasa hubungan kita cukup sampai disini.”
            Kata-kata itu, kata-kata itu cukup membuatku tersentak. Bagai tersambar petir ditengah teriknya sang mentari. Kucoba tuk tenangkan hati ini, meski kurasa itu tak mungkin. Rasa sakit dan sedih kini telah menguasai seluruh peraduan hati. Namun tetap kutampakkan wajah tegar didepan pelupuk mata Herman. Sepi menyergap kami berdua. Tanaman anggrekpun ikut melambai sendu. Air mata ini terus memaksa, menerobos kelopak mataku, tapi tertahan karena Herman berkata padaku.
            “ Ta,ta,pi, aku tidak mau kehilangan kau Vanda. Aku hanya tidak ingin konsentrasi belajar kita jadi terpecah dan tersita, itu saja. Selebihnya aku masih ingin dekat sama kamu.”
            “ Maksud kamu ?”
            “ Meskipun kita sudah tidak berpacaran lagi. Bolehkah saat ini aku jadi kakakmu  Vanda ? itupun kalau kau masih mau dekat aku ?” Sekali lagi, Herman membuatku terperanjat. Apa yang terjadi saat ini, sungguh sangat membingungkanku. Tapi segera kujawab tawaran Herman.
            “ Baiklah, aku setuju dengan usulmu itu.” Aku tersenyum kecil. Senyum itu kurasa tulus dari hatiku.
            “ Tapi apakah kau akan menangis setelah pertemuan kita ini, adikku?”
            “ Tentu tidak. Aku berani berjanji kakakku !” Kuangkat jari kelingkingku dan Hermanpun juga mengangkat jari kelingkingnya. Kamipun tertawa lepas. Rasa sakit saat kudengar Herman memutus hubungan kami, kini tergantikan karena aku masih bisa dekat dengan H erman meski hanya sebatas adik dan kakak.
            Kini kumulai menepaki kisah yang baru. Sekolahku berjalan seperti biasa. Selalu ada tugas menumpuk yang siap menanti untuk kuselesaikan. Ketika ku berjalan di koridor sekolah bersama ketiga temanku Vita, Kiran dan Rosa, kulihat banyak kerumunan siswa berdiri di depan madding yang tak jauh dari kantin sekolah.
            “ Eh, ada apa sih, kok banyak banget yang lihat madding. Kesana yuk ! ” ajak Kiran.
            “ Alah, palingan juga info gak penting. ” Jawaban singkat Rosa yang selalu cuek dengan apapun.
            “ Kamu itu, udah ayo Van !” Seru Kiran yang sedikit merasa jengkel dengan Rosa. Entah kenapa mereka selalu berbeda pendapat. Dan meskipun masing-masing dari kami mempunyai kekurangan, persahabatan kami tetap terjaga. Kami saling melengkapi dan saling mengingatkan.
            Mau tidak mau akhirnya Rosapun mengikuti langkah kami mendekati kerumunan siswa itu. Di madding, tertempel sebuah pamflet berukuran sedang. Di pojok kiri atas pamflet itu terdapat tunas gambar tunas kelapa yang artinya pamflet itu dari ekskul pramuka. Tapi nampaknya pamflet itu ditujukan untuk seluruh siswa kelas satu. Ekskul pramuka mengadakan acara kemah bareng disekolah. Kayaknya seru juga. Dan kegiatan itu dilaksanakan akhir pekan bulan ini. Aku dan semua sahabatku sudah tak sabar menanti akhir pekan itu.
            Sore ini akhirnya kami berangkat bersama ke sekolah. Dan di senja inilah Tuhan nampaknya ingin menguji kesabaranku pula. Kemah itu memang menjadi acara yang paling mengasyikkan, tapi saat itu pula aku melihat pemandangan yang sungguh membuat kedua bola mataku risih. Kulihat Herman sedang asyiknya bersenda gurau dengan salah seorang peserta kemah dan betapa mirisnya hati ini ketika aku tahu cewek yang ada di samping Herman itu adalah Kiran, yang tak lain sahabatku sendiri. Saat itu pula semua pemikiran-pemikiran tidak logisku mulai muncul. Hingga tidur malampun tiba.
            Aku, Vita dan Rosa tidur bersama di tengah-tengah peserta yang lain. Tapi entah kenapa saat itu Kiran tidur sendiri di sudut ruangan. Tubuhnya tertelungkup dengan sehelai selimut yang menjaganya. Hasrat hati ini begitu kuat. Aku ingin bertanya pada Kiran, seberapa dekat dia dengan Herman.
            “ Kiran, aku tahu kau belum tidur. Maukah kau menemaniku ngobrol sebentar ?” tanyaku pada Kiran yang setelah kudekati ternyata dia masih belum memejamkan matanya.
            “ Em,m,h kamu Vanda, kenapa ?” sahut sambil mengerdip-ngerdipkan matanya.
            “ Maaf, karena mungkin pertanyaanku ini akan membuatmu marah. Tapi aku hanya ingin tahu yang sesungguhnya dan aku berharap kamu mau menjelaskannya padaku !”
            “ Vanda, kamu ngomong apa sih? Aku gak ngerti dech?”
             “ Aku, aku,aku, ingin tahu. Em,m,mh seberapa dekat kamu dengan Herman?” agak kaku, tapi aku tetap mencoba untuk tegas. Kulihat Kiranpun agak terkejut dengan pertanyaanku barusan. Dia menenangkan diri sejenak, lalu menata nafas dan kemudian mencoba menjawab pertanyaanku.
            “ Kamu sudah tahu semuanya ya. Bagaimana kau tahu ?” Kiran lalu diam sejenak. Dia kembali menanrik nafas.
            “ Tapi Vanda, aku tidak bermaksud untuk…” belum sempat Kiran melanjutkan kata-katanya, kembali kuulang pertanyaanku.
            “ Kau bisa segera menjawab pertanyaanku, karena aku ingin mendengar jawabannya sekarang ?” meski pelan tapi nadaku lumayan ketus. Entah kenapa aku bisa berbicara seperti itu padanya seakan perasaan yang bercampur amarah ini mengontrol segala perbuatan yang akan aku perbuat. Tapi saat itu pula Kiran dengan terbata mencoba menjawab pertanyaanku.
            “ Aku, aku.. Em,m,mh. Jujur aku maksudku kita berdua sudah pernah jadian. Dan itu terjadi ketika kamu masih belum bertemu dengan dia lagi !”
            Spontan saat itu pula pikiranku melayang. Kucoba mengingat-ingat kembali semua kejadian ketika di taman anggrek sore itu. Saat itu pula pertama kalinya aku betemu dengan Herman lagi karena sewaktu kelas dua SMP dia ikut papanya yang dipindah tugaskan ke luar kota. Panjang lebar Herman bercerita tentang semua yang terjadi pada dirinya. Dia pun bercerita tentang semua mantan-mantannya, tapi mengapa dia tak pernah menceritakan hubungannya dengan Kiran. Tak kusadari air mata mulai jatuh dari kedua kelopak mataku. Aku, aku, aku tak bisa menahan air mata ini. Air mata penyesalan karena selama ini aku telah dikalahkan oleh kepintaran Herman saat dia membohongiku.
            “ Vanda sudahlah. Jangan menangis lagi. Kami telah mendengar semuanya !” kutatap wajah mereka berdua. Mereka nampak merasakan bagaimana kesedihanku. Kiran hanya menunudukkan wajahnya.
            “ Kenapa selama ini kamu tidak pernah bercerita pada kami ? Kenapa jadi seperti ini Kiran, kenapa?" Kiran tetap tertunduk meski kini tangan Rosa mengguncang bahu mungil Kiran.
            “ Sudahlah Ros !” Vita berusaha mencegah Rosa
            “ Memang aku salah. Aku tidak pantas jadi teman kalian lagi, bukan?” Bibir Kiran seakan mempunyai kekuatan. Tapi kata-kata itu pula membuat kami bertiga terdiam.
            “ T..tapi, bukan ini yang kita mau. Kita mau kamu berbicara apa adanya. Termasuk pada kami. Bukankah kita teman ?” kata-kata Vita itu terdengar cukup jelas dan tegas.
            “Ran, kita sudah berteman cukup lama. Aku ingin berbagi pada kalian dan akupun berharap kalian juga bisa berbuat sebaliknya padaku ! Jujur, tadi saat aku melihat kalian berdua bercanda bersama, kulihat ada yang berbeda pada sikap kalian. Dan sekarang aku harap kamu bisa memberikan jawaban yang jujur. Em,m,m bagaimana perasaanmu pada Herman untuk saat ini ?”
            Kiran sepertinya bingung, tangan Vita menggenggam tangan Kiran sembari menganggukkan kepala. Itu sebuah isyarat agar Kiran menjawab pertnyaanku dengan jujur.
            “Meskipun aku dan Herman saat ini hanya bersahabat, tapi aku, tapi aku, aku masih cinta sama dia Van, aku masih cinta sama dia!” Kulihat bibir Kiran bergetar. Kucoba menata nafas yang sedikit tersenggal.
            “ Andai saja dulu kamu bilang ke aku Ran, dan sekarang aku kira kamu bisa kembali ke Herman.”
            “Maksud kamu Van ?”
            “ Ia Kiran, aku lebih memilih kamu dari pada Herman. Persahabatan itu lebih penting. Aku nggak ingin mengulang kesalahan aku yang kemarin. Sebagai teman, aku ingin kamu bahagia. Lagian sekarang, hubunganku dengan Herman nggak lebih dari hubungan adik kakak saja.”
            “ Tapi percuma, Herman hanya menganggapku teman sekarang. Dan kulihat selama ini Herman sangat perhatian sama kamu Vanda.” Kiran menatapku. Nampak bekas air mata masih terlihat di pelupuk matanya.
            “ Dasar Herman, berani-beraninya dia berbuat seperti ini pada kalian !” Rosa mengepalkan tangannya. Terlihat wajahnya garang. Menunjukkan rasa amarah yang luar biasa.
            “ Sudahlah Ros, kita tidak sepatutny ikut campur dalam masalah mereka. Aku kiramereka berdua sudah dewasa. Mereka pasti bisa menyelesaikan masalah mereka. ” Vita mencoba menenangkan Rosa.
            “ Tapi Vit,ini gak bisa dibiarin !”
            “ Aduwh kamu ini Ros, sikap kamu bukan nyelesaikan masalah, tapi malah memperumit masalah. Ngerti gak sih ?” Nada bicara Vita sedikit kasar.
            “ Iya Vit, Ya udah kita semua tidur dulu aja. Nggak enak juga kan kalau mengganggu tidur teman-teman yang lain. Masalah kalian nantikita pikirkan bersama-sama. Bukankah kita harus melesaikan semua masalah dengan kepala dingin ?” sahut Rosa kemudian. Dan saat itu aku menoleh ke Kiran dengan senyum kecil meski tak dipungkiri masih ada sebercak kesedihan di hati kecil ini.
            “ Benar juga kata mereka.” Sembari menarik selimut yang sedari tadi ada di kakiku.
            “ Vanda, maafin semua perbuatan aku ya !” Kiran mengambil tempat tepat disebelahku. Saat aku akan membalas perkataannnya. Kulihat dia sudah mencoba memejamkan mata, lalu kuurungkan  niatku.
            Keesokan harinya semua kegiatan telah selesai. Sempat beberapakali aku berpapasan dengan Herman tapi tak pernah kusapa dia. Tapi setelah upa cara penutupan, Herman menghampiriku. Kucoba mengabaikannya, tapi dengan cepat Herman menarik tanganku.
            “Vanda, kamu kenapa ? kamu selalu memalingkan wajah sewaktu  berpapasan denganku ? apa ada yang salah ?”
            “ Salah apa nggak. Kakak bisa nilai sendiri. Aku hanya ingin kejujuran bukan kebohongan.” Segera kutinggalkan Herman. Aku mengambil motor matic kepunyaanku lalu segera berlalu.
            Di jalan, hilir mudik kendaraan yang padat cukup membuatku . Pikirankupun masih kalut dengan berbagai hal yang telah terjadi kemarin malam. Tapi tiba-tiba dari arah yang berlawanan kulihat sebuah mobil yang bergerak menuju ke arahku.
            Samar-samar, kulihat beberapa orang mengerumuniku. Tubuhku begitu lemas untuk bangkit. Tak jauh dariku, kulihat motorku sudah tak berbentuk lagi. Lalu kemudian aku kembali tak sadarkan diri.
            Semuanya serba putih. Itulah pemandangan yang bisa kulihat saat ini. Selang infus masih menancap di lengan kananku. Alat-alat kedokteran turut menghiasi ruangan ini. Nyeri di sekitar kaki, itu yang kurasa. Seketika itu pula kudengar suara mama yang dengan paniknya memanggil-manggil dokter. Dan satu menit kemudian dokter sudah ada disamping tempat tidurku. Setelah memeriksa keadaanku, dokter itu kemudian berbincang pada mama dan papa. Dan setelah papa dan mama kembali ke kamar dimana aku dirawat, kutanyakan pada mama apa yang sebenarnya terjadi pada kakiku.
            “Sudahlah Vanda, kedua kakimu tidak apa-apa. Beberapa minggu lagi pasti kamu sudah bisa berjalan lagi.” Kata mama, tapi kulihat ada seberkas keraguan di wajahnya.
            “ Aku kira, mama mencoba berbohong padaku ! Ma, aku ingin mama jujur sama aku!”
            Mama menoleh pada papa, ada sedikit genangan air mata di pelupuk matanya. Setelah papa memberikan isyarat dengan anggukan kepala. Mama menarik nafas.
            “ Vanda, mama harap kamu bisa tabah sayang.”
            “Apa maksud mama ? Vanda gak ngerti ma !”
            “ Karena kecelakaan kemarin Dokter menyatakan kalau kamu,,, tidak bisa berjalan lagi. Meski...”
            “ Meski apa ma ?”
            “ Meski kamu sudah menjalani berbagai oprasi kemarin.”
            Air mata ini tiada ampun membasahi kedua pipiku. Kembali teringat berbagai kejadian sebelum aku mengalami kecelakaan. Kenapa kesedihan ini menimpaku lagi, bahkan lebih menyakitkan. Kini, aku sudah tak seperti remaja yang lain. Masa depanku luluh lantak. Semua impian kini musnah.
            “ Kenapa Tuhan tak adil padaku ma, kenapa ?”
            “ Vanda, ini cobaan. Tuhan Maha Adil Vanda. Kini Tuhan menguji kesabaranmu. Kamu harus kuat nak, kamu harus tabah. ” Papa mencoba menguatkan aku. Tapi semuanya percuma, kini aku hanyalah gadis yang tak berdaya. Gadis yang hanya bisa duduk di kursi roda. Aku hanya gadis lumpuh yang tak berguna.
            Kini, mataku kembali menatap hamparan lahan luas yang dipenuhi berbagai tanaman anggrek. Tapi kini berbeda, aku hanya bisa duduk terdiam diatas kursi roda yang   menjauhkanku dari kebebasan dunia. Saat aku mencoba memaksakan diri tuk menikmati hembusan semilir dewi angin yang turut mengusik ketenangan anggrek Renanthera atau tipe anggrek semiterestrial yang ada sebelah kananku. Namun suara parau itu membuatku tertegun.
            “ Vanda, kamu sendirian ?”
            Tatkala suara itu terdengar, nampak pula olehku sesosok wajah tampan yang selama ini aku kenal. Herman, entah darimana dia tahu aku disini.
            “ Vanda, aku tahu semuanya. Maafkan aku! Karena kelakuanku kamu jadi seperti sekarang. Aku benar-benar bodoh !” kutatap matanya yang tulus, tapi sorot mata itu tetap membuatku teringat tentang kejadian malam itu.
            “ Itu semua bukan kesalahanmu.” Kataku, kucoba tuk tetap tenang.
            “Tapi aku sudah membuatmu kecewa Vanda, dan sejak saat itu aku tidak bisa memaafkan diriku sendiri. Dan Kiran, dia benar-benar hanya masa laluku. Tidak lebih.”
            “ Apa Kiran yang memberi tahumu tentang semuanya ?”
            “ Ya, dia berkata semuanya, termasuk kejadian malam itu. Vanda, aku berharap kaubisa memaafkan aku dan akupuberharap kau masih bisa menerimaku sebagai kakak.” Entah kenapa kalimat terakhir yang diucapkan Herman membuatku luluh, lega ketika mendengar semua pengakuannya tadi.
            “ Tapi aku bukan Vanda yang dulu. Kini aku hanya jadi gadis cacat yang hanya bisa diam di kursi roda ini !”
            “ Apapun yang terjadi dengan kamu, aku tetap jadi adik aku. Kamu tetap Vanda yang kukenal dulu. Ayolah Vanda, aku nggak mau Anggrek Vandaku layu, kamu harus tegar !”
            “ Anggrek Vanda?”
            “ Iya, kamu Anggrek Vanda yang tumbuh subur di kehidupanku. Anggrek Vanda yang indah, harum dan semua orang akan terpesona saat memandangnya. Senyumlah anggrekku, senyumlah ! ”
            “ Terima kasih kakak. Jangan pernah tinggalin aku ya ?”
            “ Ya Vanda, aku janji.” Senyuman Herman seakan menyatukan kembali puing-puing kebahagiaan yang telah hancur. Semua kejadian malam itu seakan tergantikan dengan senja yang indah saat ini.
            “ Vanda, esok tunggu aku di rumahmu ya. Aku akan membawakan Dendrobium phalaenopsis Fitzg untukmu !”
            “ Benarkah ? Bukankah itu salah satu anggrek yang paling indah ? Dari mana kakak mendapatkannya ? ” tanyaku selanjutnya.
            “ Aku mendapatkannya dari Pulau Tanimbar Larat. Dan bunga itu kubawa khusus untukmu. Aku akan mengajarimu bagaimana cara merawatnya.”
            Tak sabar kunantikan hari dimana Herman akan menemuiku dengan membawa Dendrobium phalaenopsis Fitzg untukku. Sampai akhirnya kudengar ada seseorang  yang mengetuk pintu kamarku. Nampak mama dengan wajah lesu berdiri persis didepan pintu.
            “ Vanda, sebaiknya kau ikut mama!” tanpa berkata panjang lebar, mama segera mendorong kursi rodaku keluar rumah. Dan aku tak bertanya apapun pada mama.
            Mama mendorong kursi rodaku mendekati kerumunan orang-orang yang ada dipinggir jalan. Ketika semuanya melihat kedatanganku, mereka memberi jalan padaku dan nampaknya baru saja terjadi kecelakaan di sini karena ada seseorang yang meminta untuk dipanggilkan ambulance. Kulihat sebuah motor yang nampaknya kukenal. Karena mama telah melepaskan tangannya dari kursi rodaku, aku jadi leluasa mendorongnya dengan tanganku sendiri lalu kudekati tempat kejadian.
            Betapa terguncangnya hatiku, kulihat Herman tergeletak. Dendrobium dan kepingan vas tersebar di dekat tangan kirinya. Kucoba tuk bangkit dari kursi rodaku sampai akhirnya aku harus terjatuh di sisi Herman. Nyeri yang amat sangat disekitar kakiku mencoba menghalangi, namun sia-sia. Dengan susah payah ku dekati Herman, kedekap ia. Darah segar membasahi kedua tanganku dan sebagian permukaan bajuku.
            “ Kakak, apa yang terjadi ? kenapa kakak seperti ini ?”
            “ Van, van, da. Maaf karena aku tidak bisa menepati janjiku, karena anggrek itu kini sudah hancur berkeping-keping.”
            “ Kakak...” belum sempat aku menyelesaikan kalimatku tapi Herman mengarahkan jari telunjuknya tepat ke permukaan bibirku.
            “ Sstt,t, kamu harus janji ke aku, Anggrek Vandaku harus selalu tersenyum, apapun yang terjadi Anggrek Vandaku nggak boleh layu.”
            Aku mengangguk, tapi seketika itu pula kelopak mata Herman terpejam. Ku dekap ia rapat-rapat. Karena saat itu pula aku tahu bahwa Herman tidak akan membua kembali kedua matanya. Apa belum puas Tuhan mengambil kedua kakiku sehingga kini Tuhan mengambil Herman dari sisiku. Tapi kucoba tuk menyadarkan diriku, bahwa aku hanyalah seorang hamba yang diuji kesabarannya. Seberapa kuat imanku dan seberapa besar keikhlasanku. Kini aku mencoba tuk bangkit dari semua kesedihanku dan dari pekatnya kabut hitam yang menyelimuti pandangan hidupku.


“...Kini kabut hitam itu kembali memelukku,
Menerobos ke celah sukmaku,
Namun sempat menipuku
Menjadi setapak cahaya terang yang berisi kebahagiaan fatamorgana.
Hingga membuatku buta lalu terpuruk didalamnya
Tapi segera kutepis semua itu
Sekali lagi, aku tak ingin Anggrek Vandaku layu.
Janji dalam hati bahwa,
Semerbak wewangiannya kan menghancurkan pekatnya kabut itu...”