s
|
engaja ku rebahkan badan ini di kursi malas peninggalan
nenek. Ku coba alihkan pikiranku sejenak dari puluhan lembar-lembar kertas
tugas yang tanpa ampun terus mengusik separuh hidupku. Kulirik Hp ku yang saat
itu berdenting, ternyata Herman. Entah kenapa saat itu aku terlalu enggan tuk
mengangkat telpon darinya. Memang saat ini hubungan kami sudah agak renggang.
Mungkin karena kami terlalu sibuk dengan urusan sekolah masing-masing.
Pagi
yang cerah untuk berjalan-jalan ke taman. Dua jam yang lalu Herman mengirimiku sandek. Dia menyuruhku tuk menemuinya di
taman Anggrek tepat pukul 10.00. Dan saat ini waktu telah menunjuk angka 09.55.
Itu berarti aku harus menunggu kedatangannya, akupun duduk disalah satu bangku
disudut taman. Nampak bunga-bunga anggrek melambai tertiup angin semilir.
Sungguh indah.
“
Hai,Vanda.” Aku langsung menoleh karena ada sebuah suara yang kukenal.
“Herman,
kukira kau akan datang barang dua atau tiga menit lagi ?” tanyaku kemudian.
Herman tak menjawab pertanyaanku barusan. Dan aku tak terlalu memperhatikan hal
itu. Tapi ekspresi Herman beda dengan biasanya. Kali ini dia nampak tegang,
kaku dan bimbang.
“
Herman, apa kau sedang punya masalah ?”
“ Vanda,
sebenarnya ada yang ingin kusampaikan padamu.” Nada bicaranya cukup datar, tapi
semakin membuatku penasaran.
“ Vanda,
kurasa hubungan kita cukup sampai disini.”
Kata-kata itu, kata-kata itu cukup membuatku tersentak.
Bagai tersambar petir ditengah teriknya sang mentari. Kucoba tuk tenangkan hati
ini, meski kurasa itu tak mungkin. Rasa sakit dan sedih kini telah menguasai
seluruh peraduan hati. Namun tetap kutampakkan wajah tegar didepan pelupuk mata
Herman. Sepi menyergap kami berdua. Tanaman anggrekpun ikut melambai sendu. Air
mata ini terus memaksa, menerobos kelopak mataku, tapi tertahan karena Herman
berkata padaku.
“
Ta,ta,pi, aku tidak mau kehilangan kau Vanda. Aku hanya tidak ingin konsentrasi
belajar kita jadi terpecah dan tersita, itu saja. Selebihnya aku masih ingin
dekat sama kamu.”
“ Maksud
kamu ?”
“
Meskipun kita sudah tidak berpacaran lagi. Bolehkah saat ini aku jadi
kakakmu Vanda ? itupun kalau kau masih mau
dekat aku ?” Sekali lagi, Herman membuatku terperanjat. Apa yang terjadi saat
ini, sungguh sangat membingungkanku. Tapi segera kujawab tawaran Herman.
“
Baiklah, aku setuju dengan usulmu itu.” Aku tersenyum kecil. Senyum itu kurasa
tulus dari hatiku.
“ Tapi
apakah kau akan menangis setelah pertemuan kita ini, adikku?”
“ Tentu
tidak. Aku berani berjanji kakakku !” Kuangkat jari kelingkingku dan Hermanpun
juga mengangkat jari kelingkingnya. Kamipun tertawa lepas. Rasa sakit saat
kudengar Herman memutus hubungan kami, kini tergantikan karena aku masih bisa
dekat dengan H
erman meski hanya sebatas adik dan
kakak.
Kini
kumulai menepaki kisah yang baru. Sekolahku berjalan seperti biasa. Selalu ada
tugas menumpuk yang siap menanti untuk kuselesaikan. Ketika ku berjalan di
koridor sekolah bersama ketiga temanku Vita, Kiran dan Rosa, kulihat banyak
kerumunan siswa berdiri di depan madding yang tak jauh dari kantin sekolah.
“ Eh,
ada apa sih, kok banyak banget yang lihat madding. Kesana yuk ! ” ajak Kiran.
“ Alah,
palingan juga info gak penting. ” Jawaban singkat Rosa yang selalu cuek dengan
apapun.
“ Kamu
itu, udah ayo Van !” Seru Kiran yang sedikit merasa jengkel dengan Rosa. Entah
kenapa mereka selalu berbeda pendapat. Dan meskipun masing-masing dari kami
mempunyai kekurangan, persahabatan kami tetap terjaga. Kami saling melengkapi
dan saling mengingatkan.
Mau tidak mau akhirnya Rosapun mengikuti langkah kami
mendekati kerumunan siswa itu. Di madding, tertempel sebuah pamflet berukuran
sedang. Di pojok kiri atas pamflet itu terdapat tunas gambar tunas kelapa yang artinya pamflet itu
dari ekskul pramuka. Tapi nampaknya pamflet itu ditujukan untuk seluruh siswa
kelas satu. Ekskul pramuka mengadakan acara kemah bareng disekolah. Kayaknya
seru juga. Dan kegiatan itu dilaksanakan akhir pekan bulan ini. Aku dan semua
sahabatku sudah tak sabar menanti akhir pekan itu.
Sore ini
akhirnya kami berangkat bersama ke sekolah. Dan di senja inilah Tuhan nampaknya
ingin menguji kesabaranku pula. Kemah itu memang menjadi acara yang paling
mengasyikkan, tapi saat itu pula aku melihat pemandangan yang sungguh membuat
kedua bola mataku risih. Kulihat Herman sedang asyiknya bersenda gurau dengan
salah seorang peserta kemah dan betapa mirisnya hati ini ketika aku tahu cewek yang
ada di samping Herman itu adalah Kiran, yang tak lain sahabatku sendiri. Saat
itu pula semua pemikiran-pemikiran tidak logisku mulai muncul. Hingga tidur
malampun tiba.
Aku,
Vita dan Rosa tidur bersama di tengah-tengah peserta yang lain. Tapi entah
kenapa saat itu Kiran tidur sendiri di sudut ruangan. Tubuhnya tertelungkup
dengan sehelai selimut yang menjaganya. Hasrat hati ini begitu kuat. Aku ingin
bertanya pada Kiran, seberapa dekat dia dengan Herman.
“ Kiran,
aku tahu kau belum tidur. Maukah kau menemaniku ngobrol sebentar ?” tanyaku
pada Kiran yang setelah kudekati ternyata dia masih belum memejamkan matanya.
“ Em,m,h
kamu Vanda, kenapa ?” sahut sambil mengerdip-ngerdipkan matanya.
“ Maaf,
karena mungkin pertanyaanku ini akan membuatmu marah. Tapi aku hanya ingin tahu
yang sesungguhnya dan aku berharap kamu mau menjelaskannya padaku !”
“ Vanda,
kamu ngomong apa sih? Aku gak ngerti dech?”
“
Aku, aku,aku, ingin tahu. Em,m,mh seberapa dekat kamu dengan Herman?” agak
kaku, tapi aku tetap mencoba untuk tegas. Kulihat Kiranpun agak terkejut dengan
pertanyaanku barusan. Dia menenangkan diri sejenak, lalu menata nafas dan
kemudian mencoba menjawab pertanyaanku.
“ Kamu
sudah tahu semuanya ya. Bagaimana kau tahu ?” Kiran lalu diam sejenak. Dia
kembali menanrik nafas.
“ Tapi Vanda, aku tidak bermaksud untuk…” belum sempat
Kiran melanjutkan kata-katanya, kembali kuulang pertanyaanku.
“ Kau
bisa segera menjawab pertanyaanku, karena aku ingin mendengar jawabannya
sekarang ?” meski pelan tapi nadaku lumayan ketus. Entah kenapa aku bisa
berbicara seperti itu padanya seakan perasaan yang bercampur amarah ini
mengontrol segala perbuatan yang akan aku perbuat. Tapi saat itu pula Kiran
dengan terbata mencoba menjawab pertanyaanku.
“ Aku,
aku.. Em,m,mh. Jujur aku maksudku kita berdua sudah pernah jadian. Dan itu
terjadi ketika kamu masih belum bertemu dengan dia lagi !”
Spontan
saat itu pula pikiranku melayang. Kucoba mengingat-ingat kembali semua kejadian
ketika di taman anggrek sore itu. Saat itu pula pertama kalinya aku betemu
dengan Herman lagi karena sewaktu kelas dua SMP dia ikut papanya yang dipindah
tugaskan ke luar kota. Panjang lebar Herman bercerita tentang semua yang terjadi
pada dirinya. Dia pun bercerita tentang semua mantan-mantannya, tapi mengapa
dia tak pernah menceritakan hubungannya dengan Kiran. Tak kusadari air mata
mulai jatuh dari kedua kelopak mataku. Aku, aku, aku tak bisa menahan air mata ini.
Air mata penyesalan karena selama ini aku telah dikalahkan oleh kepintaran
Herman saat dia membohongiku.
“ Vanda
sudahlah. Jangan menangis lagi. Kami telah mendengar semuanya !” kutatap wajah
mereka berdua. Mereka nampak merasakan bagaimana kesedihanku. Kiran hanya
menunudukkan wajahnya.
“ Kenapa selama ini kamu tidak pernah
bercerita pada kami ? Kenapa jadi seperti ini Kiran, kenapa?" Kiran tetap
tertunduk meski kini tangan Rosa mengguncang bahu mungil Kiran.
“
Sudahlah Ros !” Vita berusaha mencegah Rosa
“ Memang
aku salah. Aku tidak pantas jadi teman kalian lagi, bukan?” Bibir Kiran seakan
mempunyai kekuatan. Tapi kata-kata itu pula membuat kami bertiga terdiam.
“
T..tapi, bukan ini yang kita mau. Kita mau kamu berbicara apa adanya. Termasuk
pada kami. Bukankah kita teman ?” kata-kata Vita itu terdengar cukup jelas dan
tegas.
“Ran, kita sudah berteman cukup lama. Aku ingin berbagi
pada kalian dan akupun berharap kalian juga bisa berbuat sebaliknya padaku !
Jujur, tadi saat aku melihat kalian berdua bercanda bersama, kulihat ada yang
berbeda pada sikap kalian. Dan sekarang aku harap kamu bisa memberikan jawaban
yang jujur. Em,m,m bagaimana perasaanmu pada Herman untuk saat ini ?”
Kiran sepertinya bingung, tangan Vita menggenggam tangan Kiran
sembari menganggukkan kepala. Itu sebuah isyarat agar Kiran menjawab
pertnyaanku dengan jujur.
“Meskipun
aku dan Herman saat ini hanya bersahabat, tapi aku, tapi aku, aku masih cinta
sama dia Van, aku masih cinta sama dia!” Kulihat bibir Kiran bergetar. Kucoba
menata nafas yang sedikit tersenggal.
“ Andai
saja dulu kamu bilang ke aku Ran, dan sekarang aku kira kamu bisa kembali ke
Herman.”
“Maksud
kamu Van ?”
“ Ia
Kiran, aku lebih memilih kamu dari pada Herman. Persahabatan itu lebih penting.
Aku nggak ingin mengulang kesalahan aku yang kemarin. Sebagai teman, aku ingin
kamu bahagia. Lagian sekarang, hubunganku dengan Herman nggak lebih dari
hubungan adik kakak saja.”
“ Tapi
percuma, Herman hanya menganggapku teman sekarang. Dan kulihat selama ini
Herman sangat perhatian sama kamu Vanda.” Kiran menatapku. Nampak bekas air
mata masih terlihat di pelupuk matanya.
“ Dasar
Herman, berani-beraninya dia berbuat seperti ini pada kalian !” Rosa
mengepalkan tangannya. Terlihat wajahnya garang. Menunjukkan rasa amarah yang
luar biasa.
“
Sudahlah Ros, kita tidak sepatutny ikut campur dalam masalah mereka. Aku
kiramereka berdua sudah dewasa. Mereka pasti bisa menyelesaikan masalah mereka.
” Vita mencoba menenangkan Rosa.
“ Tapi
Vit,ini gak bisa dibiarin !”
“ Aduwh
kamu ini Ros, sikap kamu bukan nyelesaikan masalah, tapi malah memperumit
masalah. Ngerti gak sih ?” Nada bicara Vita sedikit kasar.
“ Iya Vit, Ya udah kita semua tidur dulu aja. Nggak enak
juga kan kalau mengganggu tidur teman-teman yang lain. Masalah kalian nantikita
pikirkan bersama-sama. Bukankah kita harus melesaikan semua masalah dengan
kepala dingin ?” sahut Rosa kemudian. Dan saat itu aku menoleh ke Kiran dengan
senyum kecil meski tak dipungkiri masih ada sebercak kesedihan di hati kecil ini.
“ Benar
juga kata mereka.” Sembari menarik selimut yang sedari tadi ada di kakiku.
“ Vanda,
maafin semua perbuatan aku ya !” Kiran mengambil tempat tepat disebelahku. Saat
aku akan membalas perkataannnya. Kulihat dia sudah mencoba memejamkan mata, lalu
kuurungkan niatku.
Keesokan
harinya semua kegiatan telah selesai. Sempat beberapakali aku berpapasan dengan
Herman tapi tak pernah kusapa dia. Tapi setelah upa
cara penutupan, Herman
menghampiriku. Kucoba mengabaikannya, tapi dengan cepat Herman menarik
tanganku.
“Vanda,
kamu kenapa ? kamu selalu memalingkan wajah sewaktu berpapasan denganku ? apa ada yang salah ?”
“ Salah
apa nggak. Kakak bisa nilai sendiri. Aku hanya ingin kejujuran bukan
kebohongan.” Segera kutinggalkan Herman. Aku mengambil motor matic kepunyaanku
lalu segera berlalu.
Di
jalan, hilir mudik kendaraan yang padat cukup membuatku . Pikirankupun masih
kalut dengan berbagai hal yang telah terjadi kemarin malam. Tapi tiba-tiba dari
arah yang berlawanan kulihat sebuah mobil yang bergerak menuju ke arahku.
Samar-samar,
kulihat beberapa orang mengerumuniku. Tubuhku begitu lemas untuk bangkit. Tak
jauh dariku, kulihat motorku sudah tak berbentuk lagi. Lalu kemudian aku
kembali tak sadarkan diri.
Semuanya
serba putih. Itulah pemandangan yang bisa kulihat saat ini. Selang infus masih
menancap di lengan kananku. Alat-alat kedokteran turut menghiasi ruangan ini. Nyeri
di sekitar kaki, itu yang kurasa. Seketika itu pula kudengar suara mama yang
dengan paniknya memanggil-manggil dokter. Dan satu menit kemudian dokter sudah
ada disamping tempat tidurku. Setelah memeriksa keadaanku, dokter itu kemudian
berbincang pada mama dan papa. Dan setelah papa dan mama kembali ke kamar
dimana aku dirawat, kutanyakan pada mama apa yang sebenarnya terjadi pada
kakiku.
“Sudahlah Vanda, kedua kakimu tidak apa-apa. Beberapa
minggu lagi pasti kamu sudah bisa berjalan lagi.” Kata mama, tapi kulihat ada
seberkas keraguan di wajahnya.
“ Aku
kira, mama mencoba berbohong padaku ! Ma, aku ingin mama jujur sama aku!”
Mama
menoleh pada papa, ada sedikit genangan air mata di pelupuk matanya. Setelah
papa memberikan isyarat dengan anggukan kepala. Mama menarik nafas.
“ Vanda,
mama harap kamu bisa tabah sayang.”
“Apa
maksud mama ? Vanda gak ngerti ma !”
“ Karena
kecelakaan kemarin Dokter menyatakan kalau kamu,,, tidak bisa berjalan lagi.
Meski...”
“ Meski
apa ma ?”
“ Meski
kamu sudah menjalani berbagai oprasi kemarin.”
Air mata
ini tiada ampun membasahi kedua pipiku. Kembali teringat berbagai kejadian
sebelum aku mengalami kecelakaan. Kenapa kesedihan ini menimpaku lagi, bahkan
lebih menyakitkan. Kini, aku sudah tak seperti remaja yang lain. Masa depanku
luluh lantak. Semua impian kini musnah.
“ Kenapa
Tuhan tak adil padaku ma, kenapa ?”
“ Vanda,
ini cobaan. Tuhan Maha Adil Vanda. Kini Tuhan menguji kesabaranmu. Kamu harus
kuat nak, kamu harus tabah. ” Papa mencoba menguatkan aku. Tapi semuanya
percuma, kini aku hanyalah gadis yang tak berdaya. Gadis yang hanya bisa duduk
di kursi roda. Aku hanya gadis lumpuh yang tak berguna.
Kini,
mataku kembali menatap hamparan lahan luas yang dipenuhi berbagai tanaman
anggrek. Tapi kini berbeda, aku hanya bisa duduk terdiam diatas kursi roda
yang menjauhkanku dari kebebasan dunia.
Saat aku mencoba memaksakan diri tuk menikmati hembusan semilir dewi angin yang
turut mengusik ketenangan anggrek
Renanthera atau tipe anggrek semiterestrial yang ada sebelah kananku. Namun
suara parau itu membuatku tertegun.
“ Vanda,
kamu sendirian ?”
Tatkala suara itu terdengar, nampak pula olehku sesosok
wajah tampan yang selama ini aku kenal. Herman, entah darimana dia tahu aku
disini.
“ Vanda,
aku tahu semuanya. Maafkan aku! Karena kelakuanku kamu jadi seperti sekarang.
Aku benar-benar bodoh !” kutatap matanya yang tulus, tapi sorot mata itu tetap
membuatku teringat tentang kejadian malam itu.
“ Itu
semua bukan kesalahanmu.” Kataku, kucoba tuk tetap tenang.
“Tapi
aku sudah membuatmu kecewa Vanda, dan sejak saat itu aku tidak bisa memaafkan
diriku sendiri. Dan Kiran, dia benar-benar hanya masa laluku. Tidak lebih.”
“ Apa
Kiran yang memberi tahumu tentang semuanya ?”
“ Ya,
dia berkata semuanya, termasuk kejadian malam itu. Vanda, aku berharap kaubisa
memaafkan aku dan akupuberharap kau masih bisa menerimaku sebagai kakak.” Entah
kenapa kalimat terakhir yang diucapkan Herman membuatku luluh, lega ketika
mendengar semua pengakuannya tadi.
“ Tapi
aku bukan Vanda yang dulu. Kini aku hanya jadi gadis cacat yang hanya bisa diam
di kursi roda ini !”
“ Apapun
yang terjadi dengan kamu, aku tetap jadi adik aku. Kamu tetap Vanda yang
kukenal dulu. Ayolah Vanda, aku nggak mau Anggrek Vandaku layu, kamu harus
tegar !”
“
Anggrek Vanda?”
“ Iya,
kamu Anggrek Vanda yang tumbuh subur di kehidupanku. Anggrek Vanda yang indah, harum
dan semua orang akan terpesona saat memandangnya. Senyumlah anggrekku,
senyumlah ! ”
“ Terima
kasih kakak. Jangan pernah tinggalin aku ya ?”
“ Ya
Vanda, aku janji.” Senyuman Herman seakan menyatukan kembali puing-puing
kebahagiaan yang telah hancur. Semua kejadian malam itu seakan tergantikan
dengan senja yang indah saat ini.
“ Vanda, esok tunggu aku di rumahmu ya. Aku akan
membawakan Dendrobium phalaenopsis Fitzg untukmu
!”
“
Benarkah ? Bukankah itu salah satu anggrek yang paling indah ? Dari mana kakak
mendapatkannya ? ” tanyaku selanjutnya.
“ Aku mendapatkannya dari Pulau Tanimbar Larat. Dan bunga
itu kubawa khusus untukmu. Aku akan mengajarimu bagaimana cara merawatnya.”
Tak
sabar kunantikan hari dimana Herman akan menemuiku dengan membawa Dendrobium phalaenopsis Fitzg untukku.
Sampai akhirnya kudengar ada seseorang
yang mengetuk pintu kamarku. Nampak mama dengan wajah lesu berdiri
persis didepan pintu.
“ Vanda,
sebaiknya kau ikut mama!” tanpa berkata panjang lebar, mama segera mendorong
kursi rodaku keluar rumah. Dan aku tak bertanya apapun pada mama.
Mama
mendorong kursi rodaku mendekati kerumunan orang-orang yang ada dipinggir
jalan. Ketika semuanya melihat kedatanganku, mereka memberi jalan padaku dan
nampaknya baru saja terjadi kecelakaan di sini karena ada seseorang yang
meminta untuk dipanggilkan ambulance. Kulihat sebuah motor yang nampaknya
kukenal. Karena mama telah melepaskan tangannya dari kursi rodaku, aku jadi
leluasa mendorongnya dengan tanganku sendiri lalu kudekati tempat kejadian.
Betapa
terguncangnya hatiku, kulihat Herman tergeletak. Dendrobium dan kepingan vas tersebar di dekat tangan kirinya.
Kucoba tuk bangkit dari kursi rodaku sampai akhirnya aku harus terjatuh di sisi
Herman. Nyeri yang amat sangat disekitar kakiku mencoba menghalangi, namun
sia-sia. Dengan susah payah ku dekati Herman, kedekap ia. Darah segar membasahi
kedua tanganku dan sebagian permukaan bajuku.
“ Kakak,
apa yang terjadi ? kenapa kakak seperti ini ?”
“ Van,
van, da. Maaf karena aku tidak bisa menepati janjiku, karena anggrek itu kini
sudah hancur berkeping-keping.”
“
Kakak...” belum sempat aku menyelesaikan kalimatku tapi Herman mengarahkan jari
telunjuknya tepat ke permukaan bibirku.
“
Sstt,t, kamu harus janji ke aku, Anggrek Vandaku harus selalu tersenyum, apapun
yang terjadi Anggrek Vandaku nggak boleh layu.”
Aku mengangguk, tapi seketika itu pula kelopak mata
Herman terpejam. Ku dekap ia rapat-rapat. Karena saat itu pula aku tahu bahwa
Herman tidak akan membua kembali kedua matanya. Apa belum puas Tuhan mengambil
kedua kakiku sehingga kini Tuhan mengambil Herman dari sisiku. Tapi kucoba tuk
menyadarkan diriku, bahwa aku hanyalah seorang hamba yang diuji kesabarannya.
Seberapa kuat imanku dan seberapa besar keikhlasanku. Kini aku mencoba tuk
bangkit dari semua kesedihanku dan dari pekatnya kabut hitam yang menyelimuti
pandangan hidupku.
“...Kini kabut hitam itu kembali memelukku,
Menerobos ke celah sukmaku,
Namun sempat menipuku
Menjadi setapak cahaya terang yang berisi kebahagiaan
fatamorgana.
Hingga membuatku buta lalu terpuruk didalamnya
Tapi segera kutepis semua itu
Sekali lagi, aku tak ingin Anggrek Vandaku layu.
Janji dalam hati bahwa,
Semerbak
wewangiannya kan menghancurkan pekatnya kabut itu...”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar