Surabaya, 15 Maret 2010
Dear Viola,
Demi detak jantung yang seakan mengiba
Akankah dalam palung hati,
Telah bergulir sapaan sang pujangga
Bersama dengan buliran semilir angin
Yang kian berlalu......
Hingga sekali lagi
Jari jemariku tak mampu bergerak
Tahukah kamu.....
Rasa yang kembali terhempas
Jauh........
Kini kembali bersemayam
Dan tak bersyarat....
V.P
Sebuah puisi dan sebuah bantal bintang kini berada di
meja kamarku tepat di samping tempat tidurku. Aku tak tahu dari mana dan siapa
pengirimnya . Dan inisial V.P, siapa itu, terasa asing bagiku. Pikiranku
menerawang jauh. Kucoba mengingat – ingat sesuatu yang berhubungan dengan
inisial itu, arghhh... percuma tak satupun yang aku ingat.
“ Viola,
kamu sudah bangun sayang ? ”. Mama membuka pintu kamarku dan membuyarkan
lamunanku.
“ Mama.. !
” Kucoba paksakan diri tuk bangkit dari tempat tidur.
“
Sudah,kamu tiduran dulu saja. Badan kamukan masih lemas. Nanti mama suruh Mbok
Yem buat bikinin bubur ayam buat kamu ya ! ”
“ Ma, memangnya
Ola kenapa sih ? ”
“ Kamu
pingsan di sekolah. Tadi Desy dan Robi yang mengantar kamu pulang. ”
“ Lalu,
bantal bintang itu ? ”
“ Kalau
itu kata mbok Yem dari cowok misterius. Emang mbok Yem ada-ada aja. Ya sudah, mama
tinggal dulu ya ? ” Mama keluar dari kamarku dengan melontarkan senyum manis
padaku. Kepalakupun masih terasa amat pening, jadi kuputuskan untuk kembali
tidur tanpa memperdulikan semangkuk bubur ayam yang dibawakan Mbok Yem untukku.
© © ©
Pagi yang
indah. Embun berceletuk mesra dengan kuncup anggrek
vanda yang berdiri malu diantara rerumpun anggrek
renanthera yang ada di sebelah kanan ku. Beruntung, itu yang kurasa. Karena saat ini
aku bisa tinggal di tempat seperti ini. Disuasana yang tenang tanpa harus
terganggu dengan hiruk pikuknya kendaraan yang berlalu lalang.
“Viola... Desy dan Roby sudah nunggu
tuch !”
“Iya Ma !”
Dan dua puluh menit kemudian suasana
disekelilingku berganti dari kamar yang tenang menjadi kelas yang riuh oleh candaan
para siswa Ia3 yang membahana ke seluruh ruangan.
“La, hari ini ada siswa baru loch ?”
Robi membuka pembicaraan sambil menyodorkan sebungkus snack untukku.
“Siapa..?”
“Tau tuch, katanya sih murid pindahan
dari Bandung.” Timpal Desy. “Si Catrine ma Amel uda mondar mandir di depan
ruang guru kayak uler keket.
“Cowok ya?” tanyaku sekenanya.
“Iya. La, barangkali aja kamu cocok ma
dia. Kabar-kabarnya sih cowok itu ganteng !” Jawab Desy menggodaku.
“Hush.... Apaan sih.” Jawabku ketus.
“Sensi nich....! La, kamu itu cantik,
kenapa gak cari pacar aja sih? Lagian kan uda banyak yang antri. Masih belum
bisa ngelupain yang lama ya?” Robi jadi ikut-ikutan menggoda.
“Kalian ini apa-apaan sih! Uda ya, aku
males ngebahas hal gak penting kayak gini. Oh iya,, ! Robi, awas kamu kalau
masih ngebahas masa laluku !” Kali ini aku benar-benar gak nyaman dengan
pembicaraan mereka.
“Eh, Si Killer !” teriak Udin teman
sekelasku dengan raut muka super duper tegang.
Benar, satu menit kemudian pak Edi yang
sering dijuluki Si Killer masuk ke ruang kelasku dengan gaya khas beliau. Ruang
kelas yang tadinya riuh kini berbalik seratus delapan puluh derajat. Namun di
belakang pak Edi ada sebuah sosok, sosok yang rupawan. Sungguh makhluk Tuhan
yang sempurna. Inikah anak baru itu.
“Hemm.. Selamat pagi anak-anak.”
“Pagi pak.” Jawab serentak seisi
kelas.
“Anak-anak, hari ini kalian kedatangan
teman baru “ Pak Edi diam sejenak lalu,
“Virgo, silahkan kamu mengenalkan
diri.”
Suasana kelas terasa semakin dingin,
bagaikan menunggu gol dari seorang pemain sepak bola yang mendapatkan tendangan
finalty.
“Baik, Pak.” Murid baru itu mengambil
nafas sejenak lalu melanjutkan pembicaraannya.
“Selamat pagi semua. Perkenalkan, nama
saya Virgo Pratama. Saya pindahan dari Bandung. Semoga kalian semua dapat
menerima saya di kelas ini.” Murid baru itu mengakhiri perkenalannya dengan
melemparkan senyuman yang barang siapa melihatkan akan jatuh bangun dibuatnya.
“Baik, Virgo kamu bisa duduk di bangku
kosong yang ada di belakang Viola.”
Murid baru yang mengaku namanya Virgo
itu beranjak menuju ke bangku yang di tunjuk oleh Pak Edi. Dan itu berarti dia
duduk di belakangku. Oh my God... Entah kenapa saat ini aku benar-benar
bahagia. Jarang-jarangkan ada cowok cool dan ganteng yang sekelas apalagi duduk
di belakang kita. Aduwhh.... jadi semangat sekolah nih. He.... he.. he...
“Viola.. Viola ! Kamu kenapa ?” suara
pak Edi yang parau membangunkan lamunanku.
“Viola, apa kamu sakit ?” pak Edi
melontarkan pertanyaan lagi ke aku.
“Emm.. tidak pak !” Jawabku agak gugup.
“Ya
sudah sekarang kita kembali fokus ke pelajaran.” Pak Edi memberikan
banyak sekali penjelasan mengenai pelajaran biologi yang bagiku cukup
memusingkan kepala.
Bla... bla... bla.... Tak satupun
materi yang masuk dalam otakku. Otakku sepenunya berisi tentang siswa baru itu.
Dan fikiranku melambung jauh hingga aku tak menyadari bahwa kini pelajaran telah usai.
“La..!” Desy menepuk pundakku dan kini
ia membuyarkan lamunanku.
“Kamu kenapa sih La? Dari tadi kamu
aneh banget dech.” Tangan Robi bersarang di keningku namun segera ku tangkis.
“Emmhmhm,,, aku gak papa kok !” aku
tersenyum dan mencoba meyakinkan mereka.
“Beneran ?” tanya robi memastikan dan
aku hanya mngangguk.
“Eh, hari ini kamu pulang bareng kita
kan? Tapi si Robi ada latihan futsal hari ini, jadi mau gak mau kita harus
nungguin dia dech.“
“Iya. Aku bareng kalian.”
“Ya uda. Keluar kelas yuk.”
Mendengar ajakan mereka, segera aku
mencari sosok yang sudah tak asing lagi. Mataku segera menembus ke seluruh
penjuru kelas yang sudah mulai sepi. Namun, tak kutemukan sosok itu. Dan segera
kuputuskan menyusul Desy dan Robi yang sudah meninggalkan kelas terlebih
dahulu.
Aku dan Desy pergi ke perpustakaan
selagi Robi berlatih futsal. Aku memimilih dan memilah beberapa novel dari rak
novel yang paling atas. Dan kutemukan novel yang tepat untuk kubaca. Deretan
tempat duduk yang paling ujung, menjadi pilihanku. Ketika aku sedang asik
memaknai lembar demi lembar novel yang aku baca. Tak sengaja ku dengar beberapa
siswa sedang bercakap-cakap dengan suara yang lirih. Aku berdiri, mendekati
sumber suara itu dan bersembunyi di balik rak buku untuk menghindari kecurigaan
mereka.
“Eh, kamu tahu gak siswa baru pindahan
dari Bandung yang cool itu.” Kata siswa cewek.
“Oh, si Virgo. Kenapa? Sekarang,
diakan masuk ke tim futsal sekolah kita! Kabar-kabarnya sih dia diterima tanpa
tes karena prestasinya di bidang futsal saat ia bersekolah di Bandung dulu.”
Timpal salah seorang siswa cowok sambil membolak-balik buku yang di pegangnya.
“Wah.. Perfect banget. Tambah suka aku
sama dia. Uda ganteng, cool, keren, pintar futsal pula.”
“Apaan sih kamu. Emang aku juga gak
keren ya ?” balas siswa cowok.
“Kalau kamu sih, beda jauh!” dan
mereka berduapun berlalu.
Apa benar.. berarti dia satu tim sama
Robi donk. Wah, berarti sekarang dia ada di lapangan. Namun tiba-tiba ada
sebuah tangan yang menepuk pundakku.
“Desy! Kamu ngagetin aku aja!” aku
setengah membentak Desy.
“Yach maaf, lagian kamu juga, ngapain
sih ngendap-ngendap kayak maling gitu ?”
“Kamu merhatiin aku dari tadi ya?
Hehehehe, aku gak apa-apa kok.”
“Ke lapangan yuk! Robi pasti uda kelar
latihan.” Desy langsung saja menyeretku tanpa persetujuan dariku. Segera ku
letakkan buku yang sedari tadi aku pegang ke atas tumpukan buku yang lain. Sebelum
keluar dari perpustakaan Desy melaporkan dulu buku yang akan dipinjamnya ke
pustakawan.
Belum kami sampai di lapangan, Robi
sudah menghampiri kami terlebih dahulu. Dan yang di belakang Robi, dia Virgo,
si murid baru pindahan dari Bandung. Ternyata benar kata teman-teman, Virgo masuk
ke tim futsal sekolah. Robipun tak sungkan-sungkan menceritakan semua hal
tentang Virgo, mulai dari bagaimana dia masuk ke tim, cara dia bermain dan
sebagainya. Virgo hanya tertunduk, memang sedari tadi dia tak berbicara sepatah
katapun meski Desy beribu-ribu kali memuji diri Virgo.
“La, Des. Kita jalan yuk? Itung-itung
ngerayain gabungnya Virgo ke tim sekolah kita.” Kata Robi sambil mengelap
peluhnya yang masih tersisa. Dan Desy mengiyakan.
“Tapi..” belum selesai aku melanjutkan
perkataan ku, Robi sudah menarik tanganku.
Dan kini aku dan Virgo sudah sudah
duduk di bangku belakang mobil Robi sedangkan Desy sedang asyik bercanda dengan
Robi yang sedang sibuk menyetir. Mobil Robi menyusuri trotoar yang diselimuti
dengan rintik hujan. Kukira ini rintik hujan yang cukup lebat, namun tak
menyurutkan niat Robi untuk mengajak kami jalan.
Masih berseragam sekolah. Setelah kami
keluar dari salah satu tempat makan yang lumayan terkenal di mall ini. Desy
mengajak kami ke arena time zone sekedar untuk melepaskan penat. Namun aku memutuskan untuk ke toko buku saja.
Desy akan menelponku jika mereka sudah selesai bermain. Dan kamipun berpencar.
Toko buku memanglah tempat yang
nyaman. Aku mencari beberapa novel untuk menambah koleksi novelku di rumah.
Beberapa novel terjemahan dan novel best seller
yang tersusun rapi siap memanjakan mata para penggila novel. Ingin sekali aku
membeli semua novel yang ada. Tapi aku tak bawa cukup banyak uang hari ini. Dan
akhirnya dengan terpaksa, kuurungkan niatku.
Satu setengah jam berlalu dan Desy
atau Robi belum juga menelponku. Kuputuskan untuk menyudahi acara berburu novel
dan menyusul mereka. Belum saja aku beranjak dari tempatku semula. Ada
seseorang yang memanggilku dengan suara yang parau. Segera ku menoleh ke
belakang. Virgo.... sejak kapan dia di belakangku. Dia tersenyum kecil,
kemudian dia menjelaskan mengapa dia berada disini, saat ini denganku.
“Maaf aku mengagetkanmu. Aku disini
hanya ingin bilang, tadi Robi harus pulang karena ada urusan. Tadinya dia mau
nelpon kamu, tapi handphone kamu gak aktif. Akhirnya kuputuskan saja untuk
menyusulmu dan membiarkan meraka pulang lebih dahulu. Kebetulan aku juga
sekalian mencari buku ini.” Virgo menunjukkan tiga buah buku mengenai tanaman
anggrek di tangan kanannya. Dan aku segera mengambil handphone yang ada di
tasku. Memang benar, handphoneku lobet. Pantas saja sedari tadi handphone ku
sama sekali tidak berdering.
“Oh iya, kalau kamu sudah selesai,
bolehkah aku mengantarmu pulang? Itupun kalau kamu tidak keberatan.” Virgo
melanjutkan. Setelah membayar buku yang kami beli, kami memutuskan untuk
langsung pulang saja karena hari sudah mulai malam. Dan lagi kamu juga masih
berseragam sekolah.
Kini, sepanjang perjalanan pulang aku
dan Virgo tidak lagi saling berdiam diri. Kami saling bercengkrama satu sama
lain. Kami bahkan lebih akrab dibanding sebelumnya. Virgo yang pendiam dan suka
menutup diri ternyata asyik juga dijadikan teman ngobrol. Aku juga bertanya
mengapa dia membeli buku tentang anggrek sewaktu di toko buku tadi. Dan
setidaknya dengan pertanyaanku, aku mengetahui sedikit banyak tentang Virgo,
mengenai hobinya dan koleksi anggrek yang dimilikinya. Bahkan ia berjanji
padaku akan mengajariku cara menanam dan merawat tanaman anggrek.
Taxi yang kami tumpangipun terus
melaju tanpa hambatan. Hanya sekejab saja taxi yang kami tumpangi telah
berhenti di depan rumahku. Baru saja aku akan membayar taxinya namun Virgo
melarangku. Ia lalu melambai padaku dan berlalu dari pandanganku.
© © ©
Aku mengalami pagi yang cukup indah hari
ini. Udara yang segar namun tak cukup dingin telah mendorongku berjalan melalui
jalan setapak, tak jauh dari rumah. Dan kini sampailah aku ditempat yang paling
indah. Bukit terjal namun menyuguhkan pemandangan yang amat elok. Pemandangan
seisi kota terkemas mungil bagai miniatur yang dibuat amat sempurna. Tak hanya
udara segar yang dapat ku nikmati, disini kudapatkan ketenanganku. Aku seakan
merasakan denyut nadi sebuah kehidupan. Semua permsalahanku terselesaikan
disini. Semua kepenatanku sirna, bagai angin yang tak pernah kembali ke tempat
dimana ia berasal. Meskipun awalnya, tempat ini juga menjadi tempat
perpisahanku dengan teman semasa kacilku.
Lama ku merenung. Bahkan aku hampir
saja tak menyadari hujan mulai turun sampai akhirnya ada seseorang yang menarik
tanganku dan mengajakku berlalu melawan buliran – buliran air hujan yang tanpa
ampun membikin basah apa saja yang ada di permukaan bumi. Aku berteduh di
sebuah gubuk tak terawat, mungkin sudah ditinggalkan oleh pemiliknya karena
selama aku mengunjungi dan bermain disini tak pernah kudapati sebuah gubuk
disekitar tempat ini.
“Maaf, tadi aku langsung menyeretmu,
La!” baru saja ku sadari aku bersama seseorang yang belum aku kenal. Dan,
astaga! Kenapa dia tahu namaku? Kupandangi dia. Seorang pemuda yang berdiri di
depanku kini sama basa kuyupnya sepertiku. Dia mengelap kaos biru yang ia
kenakan dengan sapu tangan merahnya. Gayanya yang cupu serta kacamatanya yang
bulat memberikan aksen lucu pada penampilannya.
“Kamu, lupa sama aku ya, La?” pemuda
itu melanjutkan.
“Kamu ....!” aku mulai mengingatnya,
namun bibir ini sulit sekali untuk berucap.
“Igo...! Kamu Igo kan? Aku ingat kamu
sekarang?” sontak aku terkaget. Igo, teman semasa kecilku yang tidak ku ketahui
kabarnya kini kembali berada dihadapanku.
“Gak usah sekaget itu kali, La!” ia
membenahi posisi kacamatanya yang sedikit turun dengan jari tengahnya.
“Go, kamu masih sama ya kayak Igo yang
dulu. Gak berubah sama sekali.”
“Salah satunya tetap cupu ya ?” sahut
Irgo kemudian.
“Sudah, lupain aja.” Aku tersenyum
kecil pada Igo.
“Go, sudah lama ya, kita gak pernah
ketemu. Sudah berapa tahun ya?” lanjutku kemudian..
“Sudah enam tahun. Enam tahun yang
lalu kita berpisah di bukit ini. Dan sekarang di bukit inilah kita bertemu
lagi.“ Igo melanjutkan ucapanku lalu terdiam. Ia seperti sedang memikirkan
sesuatu.
“La, aku sudah menepati janjiku kan?
Janjiku untuk menemuimu disini! Emmmhh,,, sekarang aku harus pergi. Esok kita
ketemu lagi disini ya. Aku akan menunggumu untuk makan siang.” lanjutnya
kemudian.
“Ta..tapi.. Go” Dan beberapa menit
kemudian ia sudah lenyap dari pandanganku.
Igo. Kenapa tanpa diduga muncul
dihadapanku namun sekarang dalam sekejab saja ia sudah menghilang dari
pandanganku. Bahkan, aku saja belum sempat menanyakan dimana ia tinggal
sekarang. Tapi untuk saat ini aku tak membiarkan pikiranku terbalut oleh
lamunan-lamunan yang mengusik logika.
© © ©
Kali ini, Virgo tersenyum ramah dan
memberiku selusin celotehan yang sama sekali tak pernah kudengar sebelumnya.
Tanpa sadar akupun terbawa dalam suasana yang penuh keakraban itu.
Sampai-sampai aku tak tahu bahwa sedari tadi ada dua pasang mata yang mengamati
kami.
“Ehemmm... wah yang lagi pedekate?”
tiba – tiba saja Desy mencubit kedua pipiku.
“Jangan-jangan kita ganggu mereka lagi Des?” Robi ikut berceloteh sambil
memberikan senyum nakal pada kami.
“Kalian itu ada-ada saja. Kami Cuma
ngbrol aja kok! Iyakan Go?” aku mencoba membela diri. Dan Virgo membalasku
dengan anggukan.
“Iya, Cuma ngobrol tapi sampai bikin
kalian gak memperhatikan bel masuk kan?” lanjut Desy.
“Emang udah bel ya?” Seperti dikomando
saja. Tanpa sengaja aku dan Virgo melontarkan pertanyaan yang sama pada Desy
dan Robi. Sontak saja itu membuat mereka semakin menjadi-jadi.
“Tuch kan bener.. Ternyata uda sehati
nih ?” Mereka tertawa nakal lalu segera berlari menuju kelas. Aku dan Virgo
langsung saja menyusul mereka berdua. Lima menit kemudian pelajaran yang
menguras energi segera disuguhkan pada kami.
© © ©
Ntah sejak kapan Virgo keluar kelas
karena bisa ku pastikan Virgo sudah benar-benar menghilang. Sedikit kecewa
kurasa. Tapi tak apalah karena hari ini aku akan bertemu lagi dengan sahabat
kecilku. Segera ku membereskan buku pelajaran yang masih berserakan. Tanpa
menyapa Desy dan Robi aku lebih dahulu meninggalkan kelas.
Emhhh... Siang
yang cukup terik menurutku. Sang pemilik energi terbesar di galaksi bima sakti
ini serasa mencengkeram tubuhku yang basah dengan kringat segar tanpa ampun
hingga ubun-ubun ini terasa mendidih. Ingin sekali rasanya aku cepat-cepat sampai
di bukit itu dan tentunya aku juga ingin segera bertemu dengan Igo.
Setelah
sekian menit aku bejalan menyusuri jalan setapak yang sedikit menanjak.
Sampailah aku di tempat yang kutuju. Kulihat Igo sedang bersandar dibawah pohon
rindang dengan sebuah buku yang sedang ia baca. Kemeja biru yang ia kenakan
mengingatkan ku pada kebiasaannya tempo dulu.
“Ehemm..
masih dengan kebiasaan yang sama nih ?” aku membangunkan Igo dari kekhusukannya membaca.
“Kamu La.
Bikin kaget aja! Maksudmu, kebiasaan yang mana ?”
“Selalu pakai
kemeja biru meskipun kamu sebenernya suka warna merah. Dan buku yang kamu baca
pasti lagi-lagi tentang anggrek. Iya kan ?” penegasanku kemudian.
“Ternyata
kamu masih ingat ya, La. Hahaha.... Oh iya, kamu pasti belum makan siang. Ini
aku sengaja bawa bekal buat kamu. Kamu makan ya..” Igo menyodorkan sebuah tepak
makan sederhana untukku. Makanan kesukaan Igo, tahu dan telur rebus yang
dibumbui dengan cabai merah dan tomat.
“Masih
ingat makanan kesukaanku, kan? Dan sekarang kamu harus memakannya.” Kata Igo
kemudian.
“Ya, tentu
aku masih ingat. Jangan salahkan aku kalau menghabiskan bekal makan siangmu,
Go.” Aku tersenyum pada Igo lalu melahap bekal makan siang Igo tanpa ragu. Di
sela-sela itu juga kami juga saling bergurau satu sama lain.
Sejak
kejadian siang itu. Setiap pulang sekolah aku selalu ke bukit itu untuk menemui
Igo. Kami selalu menghabiskan waktu bersama hingga senja tiba. Untuk hari ini
Igo memintaku untuk menemuinya sore hari. Dan karena hari ini hari Minggu
akhirnya kuputuskan untuk mengunjungi panti yang biasa kukunjungi dengan Igo
enam tahun lalu. Sebelum aku beranjak pergi, mbok Yem mengetuk pintu kamarku.
“Masuk aja
mbok Yem. Pintunya nggak dikunci kok.”
“Non, ini
sudah mbok siapin puding yang mau non bawa ke panti. Dan ini....” mbok Yem
tidak melanjutkan kata-katanya. Namun mbok Yem menyodorkan sepucuk surat dan
buket bunga anggrek potong jenis Vanda yang tersusun rapi dan indah.
“Dari
siapa mbok?” tanyaku kemudian.
“Dari pemuda yang waktu itu Non.
Aduh,.. tapi mbok ndak tahu siapa namanya. Abis ditanya ndak ngaku sih non.”
“Ya sudah.
Makasih ya mbok. Oh iya, nanti bilangin ke mama ya, kalau Viola mau ke panti
dulu.” Aku segera keluar kamar dan meninggalkan mbok Yem yang sedang menata
sprei tempat tidurku yang sedikit berantakan.
Sudah
seminggu ini aku tidak berkunjung kesini. Namun rasanya aku sudah rindu sekali.
Kulihat beberapa anak bermain di pelataran panti. Dan seorang wanita paruh baya
sedang duduk di taman panti sambil mengawasi anak-anak yang sedang bermain.
Beliau adalah Ibu Mawar, kepala panti asuhan ini. Beliau melambaikan tangan
padaku dan melemparkan senyum yang ramah sewaktu aku mulai memasuki gerbang
panti. Rina dan Doni yang sedari tadi bermain, kini berlari kearahku dan segera
memelukku.
“Rina,
Doni, lihat nih... Kakak bawa puding kesukaan kalian. Jangan lupa, dibagi sama
yang lain, ya!”
“Trimakasih,
kak.” Mereka memelukku lagi lalu kembali bermain dengan temannya yang lain. Aku
langsung menghampiri bunda yang ada di taman.
“Assalamualaikum,
Bunda.” Aku mencium tangan beliau lalu aku duduk disampingnya.
“Waalaikumsalam.
Bagaimana kabarnya nduk?”
“Baik,
bun. Bunda sendiri ?”
“Alhamdulillah,
Bunda juga baik-baik saja kok La. Oh iya, Viola, lihat disamping kamu.” Segera
saja aku menoleh ke arah yang dimaksudkan bunda.
“Wah,
bunga anggreknya berbunga. Bagus sekali bunda. Siapa yang merawatnya selagi aku
tidak berkunjung kesini?” ketika aku menoleh pada bunda, beliau hanya
menyuruhku untuk pergi ketaman belakang panti. Segera saja aku beranjak dan
menuruti apa kata bunda.
Kulihat
seorang pemuda berkaos biru sedang duduk di bangku taman dengan dua anak kecil
duduk disampingnya, yang tak lain Fashya dan Lili. Aku tak langsung menyapanya,
aku hanya mengamatinya. Betapa akrabnya pemuda itu dengan adik-adikku. Sepertinya
mereka sudah berkenalan sejak lama. Siapa dia? Sepertinya tak asing. Apakah
dia........?
“Igo ?” pemuda
itu langsung menoleh ke arahku, namun ternyata dugaanku salah.
“Virgo,
kenapa kamu ada disini?” tanyaku kemudian pada pemuda yang tak lain adalah
Virgo, teman sekelasku.
“Aku,, aku
hanya kebetulan lewat dan kulihat di taman depan ada anggrek yang layu jadi
kuputuskan untuk berkunjung ke sini. Aku kecewa sama kamu La, masak anggrek
milikmu kau biarkan begitu aja.” Virgo langsung mendaulatku dengan
tuduhan-tuduhan yang semakin memojokkan ku.
“Iya, aku
mengaku salah. Memang seminggu ini aku tak bisa berkunjung kesini. Tapi aku
janji, tak akan kuulangi lagi.” Mendengar kata-kataku Virgo lalu tertawa lepas.
Beberapa detik aku tak mengerti apa yang ia pikirkan, namun segera ku tersadar kini
Virgo sedang meledekku.
“Biasa aja
Viola yang manis. Aku kan Cuma bercanda. Oh iya, tadi kamu manggil aku apa?
Igo? Namaku kan Virgo bukan Igo?” sorot mata Virgo yang awalnya membiaskan
candaan kini berubah menjadi serius. Aku duduk disamping Virgo, sementara
Fashya dan Lili meninggalkan kami.
“Kamu,,
kamu mirip sekali dengan Igo. Igo itu sahabat kecilku. Kami berpisah enam tahun
lalu.” Aku menarik nafas dan kemudian aku melanjutkan menceritakan semua, tentang
Igo, dan semua yang telah kuulakukan dengan Igo di panti ini enam tahun lalu.
“Lalu,
sekarang dimana Igo?” tanya Virgo
kemudian.
“Aku
bertemu dengannya beberapa hari ini.” jawabku. Virgo menatapku dengan sorot
mata aneh. Sedetikpun ia tak melepas pandangannya dariku. Aku jadi salah
tingkah dibuatnya.
“Go,
kenapa kamu ngeliatin aku sampek segitunya sih? what`s wrong with me?” tanyaku agak kesal. Bukannya malah menjawab,
Virgo malah tertawa. Tanpa berfikir panjang kuinjak kaki Virgo dan seketika itu
pula Virgo meronta.
“Aduwhh,
sakit tahu. Nothing, gak ada yang salah. Cuma,,,,” Virgo memberi celah yang
cukup panjang untuk melanjutkan kata-katanya. “Cuma saat kamu cerita tetang
Igo, aku ngerasa kalau kamu bukan sahabatnya Igo, tapi pacarnya.” Wajah Igo
yang sedari tadi berbinar kini beralih jadi masam.
“Apaan
sih. Aku emang beneran Cuma sahabatan sama Igo.” Aku mencoba membela diri.
Namun Virgo tak bereaksi apa-apa. Dia hanya memberikan senyuman kecil padaku
lalu beranjak bangkit. Sampai beberapa langkah diambilnya, baru ia menoleh
padaku.
“Lupain
aja kata-kataku tadi. La, jangan lupa nanti sore! Di bukit biasa.” Tanpa
menunggu jawabanku ia lalu bergegas mengambil langkah seribu dan lenyap dibalik
rerumpun bougenvile merah. Dan kini aku hanya termenung. Apa yang dia maksud?
Bukit? Bukit yang mana? Apa bukit yang sama?
Dear Viola, Surabaya,
15 April 2010
Jika sang waktu tak mampu lagi tuk berucap
Maka kan kubiarkan sang senja.........
Menutup erat goresan kasih ini,
Bisakah semenit saja tanpanya ?
Tanpa pula rasa yang mengecam tiada tara.
Tuhan.....
Aku ingin
perpisahan ini menjadi perpisahan yang termanis
Aku berharap
hati kan tetap terjaga dalam ketenangannya
Meski belum
bisa menggapainya.
Meski raga ini
tak dapat berpeluk erat dengannya
Mungkin suatu saat
Harapan ini kan terbalas
Meski hanya dengan untaian kata
Yang semakin membuat sukma bergema.
V.P
Dua kali surat ini
kubaca. Siapa gerangan pengirimnya. Surat ini pun dikirim pada taggal yang
sama. Hampir saja aku melupakan surat ini. namun untungnya mbok Yem
meletakkannya kembali di meja kamarku. Anganku masih melayang, seakan tak
menyatu dengan raga. VP? Inisial itu, apakah aku mengenalnya?
Tapi
tiba-tiba saja semua anganku terpental. Bagai tersmabar petir, aku hanya diam
terpaku. Rasa ini, ternyata? Atau apakah dia? Segera ku berlari menuju bukit
yang selama ini jadi persinggahanku di setiap akhir senja. Jalan yang terjal
sekali lagi tak menghalangi langkahku. Dia? Dimana dia? Aku mencari-cari
sosoknya. Dan aku menemukan sosok itu kembali bersandar di bebatuan besar masih
dengan semua hal yang prnah dilakukannya sebelumnya.
“Igo,”
sapaku lemah. Nafasku begitu tersengal.
“Igo, apa
maksud semua ini? Virgo Permadi atau Virgo Pratama?” lanjutku.
Igo
mengangkat mukanya. Ia melepas kacamatanya dan meletakkan buku yang sedari tadi
jadi pusat perhatian utamanya.
“Kamu
sudah menyadarinya, Viola. Maaf kalau caraku ini.....”
“Apa!
Puaskah kamu telah berpura-pura selama ini! membohongiku dan kemudian
menjebakku dalam cerpen kehidupanmu! Tahukah kamu betapa aku.......“ aku
terdiam. Karena kini, ia menggenggam tanganku.
“Dengarkan
aku Viola, aku punya alasan untuk semua ini. Aku mengganti namaku dan bertemu
denganmu untuk yang pertama kalinya setelah kita berpisah dengan penampilan
yang sungguh sangat jauh berbeda. Karena aku sangat berharap, suatu saat nanti
kita bisa berbagi hati, saling memiliki dan tentunya bukan sebagai sahabat
semata. Kau tahu maksudkukan?” Virgo menatapku dan mata kami saling bertemu.
Entah saat itu apa yang kurasa. Semua bagaikan magic menurutku. Aku mulai menata kata karena sedari tadi mulutku
serasa terkatup erat.
“Ta...Tapi.
Sosok yang kusukai adalah Igo. Sulit bagiku untuk menerima ini semua.” Aku
tertunduk.
“Viola,
aku tahu semua butuh proses. Aku takkan memaksakan kehendakku padamu. Karena
saat ini, yang ku mau hanyalah perpisahan yang termanis antara kau dengan Igo
dan selanjutnya kamu dapat menerima semua perubahan pada dirinya sekarang.”
Virgo
memelukku erat. Dan airmataku kini tak dapat terbendung lagi. Bahkan akupun tak
tahu, apakah ini akhir yang membahagiakan atau justru akhir yang menyedihkan.
Aku hanya mengangguk lemah dengan semua kata-kata Virgo. Semua orang butuh
perubahan, kurasa ada benarnya juga. Dan kini kan kucoba menerima dia, dengan
sisi lainnya. Sama seperti ketika aku pertama kali mengenalnya, sebagai sosok
Igo.
©The
end©
Tidak ada komentar:
Posting Komentar