Kamis, 24 Mei 2012

Dua Sisi Hatinya


Surabaya, 15 Maret 2010
Dear Viola,

Demi detak jantung yang seakan mengiba
Akankah dalam palung hati,
Telah bergulir sapaan sang pujangga
Bersama dengan buliran semilir angin
Yang kian berlalu......
Hingga sekali lagi
Jari jemariku tak mampu bergerak
Tahukah kamu.....
Rasa yang kembali terhempas
Jauh........
Kini kembali bersemayam
Dan tak bersyarat....

V.P

       Sebuah puisi dan sebuah bantal bintang kini berada di meja kamarku tepat di samping tempat tidurku. Aku tak tahu dari mana dan siapa pengirimnya . Dan inisial V.P, siapa itu, terasa asing bagiku. Pikiranku menerawang jauh. Kucoba mengingat – ingat sesuatu yang berhubungan dengan inisial itu, arghhh... percuma tak satupun yang aku ingat.
          “ Viola, kamu sudah bangun sayang ? ”. Mama membuka pintu kamarku dan membuyarkan lamunanku.
          “ Mama.. ! ” Kucoba paksakan diri tuk bangkit dari tempat tidur.
          “ Sudah,kamu tiduran dulu saja. Badan kamukan masih lemas. Nanti mama suruh Mbok Yem buat bikinin bubur ayam buat kamu ya ! ”
          “ Ma, memangnya Ola kenapa sih ? ”
          “ Kamu pingsan di sekolah. Tadi Desy dan Robi yang mengantar kamu pulang. ”
          “ Lalu, bantal bintang itu ? ”
          “ Kalau itu kata mbok Yem dari cowok misterius. Emang mbok Yem ada-ada aja. Ya sudah, mama tinggal dulu ya ? ” Mama keluar dari kamarku dengan melontarkan senyum manis padaku. Kepalakupun masih terasa amat pening, jadi kuputuskan untuk kembali tidur tanpa memperdulikan semangkuk bubur ayam yang dibawakan Mbok Yem untukku.
© © ©
          Pagi yang indah. Embun berceletuk mesra dengan kuncup anggrek vanda yang berdiri malu diantara rerumpun anggrek renanthera yang ada di sebelah kanan ku. Beruntung, itu yang kurasa. Karena saat ini aku bisa tinggal di tempat seperti ini. Disuasana yang tenang tanpa harus terganggu dengan hiruk pikuknya kendaraan yang berlalu lalang.
          “Viola... Desy dan Roby sudah nunggu tuch !”
          “Iya Ma !”
          Dan dua puluh menit kemudian suasana disekelilingku berganti dari kamar yang tenang menjadi kelas yang riuh oleh candaan para siswa Ia3 yang membahana ke seluruh ruangan.
          “La, hari ini ada siswa baru loch ?” Robi membuka pembicaraan sambil menyodorkan sebungkus snack untukku.
          “Siapa..?”
          “Tau tuch, katanya sih murid pindahan dari Bandung.” Timpal Desy. “Si Catrine ma Amel uda mondar mandir di depan ruang guru kayak uler keket.
          “Cowok ya?” tanyaku sekenanya.
          “Iya. La, barangkali aja kamu cocok ma dia. Kabar-kabarnya sih cowok itu ganteng !” Jawab Desy menggodaku.
          “Hush.... Apaan sih.” Jawabku ketus.
          “Sensi nich....! La, kamu itu cantik, kenapa gak cari pacar aja sih? Lagian kan uda banyak yang antri. Masih belum bisa ngelupain yang lama ya?” Robi jadi ikut-ikutan menggoda.
         “Kalian ini apa-apaan sih! Uda ya, aku males ngebahas hal gak penting kayak gini. Oh iya,, ! Robi, awas kamu kalau masih ngebahas masa laluku !” Kali ini aku benar-benar gak nyaman dengan pembicaraan mereka.
          “Eh, Si Killer !” teriak Udin teman sekelasku dengan raut muka super duper tegang.
          Benar, satu menit kemudian pak Edi yang sering dijuluki Si Killer masuk ke ruang kelasku dengan gaya khas beliau. Ruang kelas yang tadinya riuh kini berbalik seratus delapan puluh derajat. Namun di belakang pak Edi ada sebuah sosok, sosok yang rupawan. Sungguh makhluk Tuhan yang sempurna. Inikah anak baru itu.
          “Hemm.. Selamat pagi anak-anak.”
          “Pagi pak.” Jawab serentak seisi kelas.
          “Anak-anak, hari ini kalian kedatangan teman baru “ Pak Edi diam sejenak lalu,
          “Virgo, silahkan kamu mengenalkan diri.”
          Suasana kelas terasa semakin dingin, bagaikan menunggu gol dari seorang pemain sepak bola yang mendapatkan tendangan finalty.
          “Baik, Pak.” Murid baru itu mengambil nafas sejenak lalu melanjutkan pembicaraannya.
          “Selamat pagi semua. Perkenalkan, nama saya Virgo Pratama. Saya pindahan dari Bandung. Semoga kalian semua dapat menerima saya di kelas ini.” Murid baru itu mengakhiri perkenalannya dengan melemparkan senyuman yang barang siapa melihatkan akan jatuh bangun dibuatnya.
          “Baik, Virgo kamu bisa duduk di bangku kosong yang ada di belakang Viola.”
          Murid baru yang mengaku namanya Virgo itu beranjak menuju ke bangku yang di tunjuk oleh Pak Edi. Dan itu berarti dia duduk di belakangku. Oh my God... Entah kenapa saat ini aku benar-benar bahagia. Jarang-jarangkan ada cowok cool dan ganteng yang sekelas apalagi duduk di belakang kita. Aduwhh.... jadi semangat sekolah nih. He.... he.. he...
          “Viola.. Viola ! Kamu kenapa ?” suara pak Edi yang parau membangunkan lamunanku.
          “Viola, apa kamu sakit ?” pak Edi melontarkan pertanyaan lagi ke aku.
          “Emm.. tidak pak !” Jawabku agak gugup.
          “Ya  sudah sekarang kita kembali fokus ke pelajaran.” Pak Edi memberikan banyak sekali penjelasan mengenai pelajaran biologi yang bagiku cukup memusingkan kepala.
          Bla... bla... bla.... Tak satupun materi yang masuk dalam otakku. Otakku sepenunya berisi tentang siswa baru itu. Dan fikiranku melambung jauh hingga aku tak menyadari bahwa  kini pelajaran telah usai.
          “La..!” Desy menepuk pundakku dan kini ia membuyarkan lamunanku.
          “Kamu kenapa sih La? Dari tadi kamu aneh banget dech.” Tangan Robi bersarang di keningku namun segera ku tangkis.
          “Emmhmhm,,, aku gak papa kok !” aku tersenyum dan mencoba meyakinkan mereka.
          “Beneran ?” tanya robi memastikan dan aku hanya mngangguk.
          “Eh, hari ini kamu pulang bareng kita kan? Tapi si Robi ada latihan futsal hari ini, jadi mau gak mau kita harus nungguin dia dech.“
          “Iya. Aku bareng kalian.”
          “Ya uda. Keluar kelas yuk.”
          Mendengar ajakan mereka, segera aku mencari sosok yang sudah tak asing lagi. Mataku segera menembus ke seluruh penjuru kelas yang sudah mulai sepi. Namun, tak kutemukan sosok itu. Dan segera kuputuskan menyusul Desy dan Robi yang sudah meninggalkan kelas terlebih dahulu.
          Aku dan Desy pergi ke perpustakaan selagi Robi berlatih futsal. Aku memimilih dan memilah beberapa novel dari rak novel yang paling atas. Dan kutemukan novel yang tepat untuk kubaca. Deretan tempat duduk yang paling ujung, menjadi pilihanku. Ketika aku sedang asik memaknai lembar demi lembar novel yang aku baca. Tak sengaja ku dengar beberapa siswa sedang bercakap-cakap dengan suara yang lirih. Aku berdiri, mendekati sumber suara itu dan bersembunyi di balik rak buku untuk menghindari kecurigaan mereka.
          “Eh, kamu tahu gak siswa baru pindahan dari Bandung yang cool itu.” Kata siswa cewek.
          “Oh, si Virgo. Kenapa? Sekarang, diakan masuk ke tim futsal sekolah kita! Kabar-kabarnya sih dia diterima tanpa tes karena prestasinya di bidang futsal saat ia bersekolah di Bandung dulu.” Timpal salah seorang siswa cowok sambil membolak-balik buku yang di pegangnya.
          “Wah.. Perfect banget. Tambah suka aku sama dia. Uda ganteng, cool, keren, pintar futsal pula.”
          “Apaan sih kamu. Emang aku juga gak keren ya ?” balas siswa cowok.
          “Kalau kamu sih, beda jauh!” dan mereka berduapun berlalu.
          Apa benar.. berarti dia satu tim sama Robi donk. Wah, berarti sekarang dia ada di lapangan. Namun tiba-tiba ada sebuah tangan yang menepuk pundakku.
          “Desy! Kamu ngagetin aku aja!” aku setengah membentak Desy.
          “Yach maaf, lagian kamu juga, ngapain sih ngendap-ngendap kayak maling gitu ?”
          “Kamu merhatiin aku dari tadi ya? Hehehehe, aku gak apa-apa kok.”
          “Ke lapangan yuk! Robi pasti uda kelar latihan.” Desy langsung saja menyeretku tanpa persetujuan dariku. Segera ku letakkan buku yang sedari tadi aku pegang ke atas tumpukan buku yang lain. Sebelum keluar dari perpustakaan Desy melaporkan dulu buku yang akan dipinjamnya ke pustakawan.
          Belum kami sampai di lapangan, Robi sudah menghampiri kami terlebih dahulu. Dan yang di belakang Robi, dia Virgo, si murid baru pindahan dari Bandung. Ternyata benar kata teman-teman, Virgo masuk ke tim futsal sekolah. Robipun tak sungkan-sungkan menceritakan semua hal tentang Virgo, mulai dari bagaimana dia masuk ke tim, cara dia bermain dan sebagainya. Virgo hanya tertunduk, memang sedari tadi dia tak berbicara sepatah katapun meski Desy beribu-ribu kali memuji diri Virgo.
          “La, Des. Kita jalan yuk? Itung-itung ngerayain gabungnya Virgo ke tim sekolah kita.” Kata Robi sambil mengelap peluhnya yang masih tersisa. Dan Desy mengiyakan.
          “Tapi..” belum selesai aku melanjutkan perkataan ku, Robi sudah menarik tanganku.
          Dan kini aku dan Virgo sudah sudah duduk di bangku belakang mobil Robi sedangkan Desy sedang asyik bercanda dengan Robi yang sedang sibuk menyetir. Mobil Robi menyusuri trotoar yang diselimuti dengan rintik hujan. Kukira ini rintik hujan yang cukup lebat, namun tak menyurutkan niat Robi untuk mengajak kami jalan.
          Masih berseragam sekolah. Setelah kami keluar dari salah satu tempat makan yang lumayan terkenal di mall ini. Desy mengajak kami ke arena time zone sekedar untuk melepaskan penat.  Namun aku memutuskan untuk ke toko buku saja. Desy akan menelponku jika mereka sudah selesai bermain. Dan kamipun berpencar.
          Toko buku memanglah tempat yang nyaman. Aku mencari beberapa novel untuk menambah koleksi novelku di rumah. Beberapa novel terjemahan dan novel best seller yang tersusun rapi siap memanjakan mata para penggila novel. Ingin sekali aku membeli semua novel yang ada. Tapi aku tak bawa cukup banyak uang hari ini. Dan akhirnya dengan terpaksa, kuurungkan niatku.
          Satu setengah jam berlalu dan Desy atau Robi belum juga menelponku. Kuputuskan untuk menyudahi acara berburu novel dan menyusul mereka. Belum saja aku beranjak dari tempatku semula. Ada seseorang yang memanggilku dengan suara yang parau. Segera ku menoleh ke belakang. Virgo.... sejak kapan dia di belakangku. Dia tersenyum kecil, kemudian dia menjelaskan mengapa dia berada disini, saat ini denganku.
          “Maaf aku mengagetkanmu. Aku disini hanya ingin bilang, tadi Robi harus pulang karena ada urusan. Tadinya dia mau nelpon kamu, tapi handphone kamu gak aktif. Akhirnya kuputuskan saja untuk menyusulmu dan membiarkan meraka pulang lebih dahulu. Kebetulan aku juga sekalian mencari buku ini.” Virgo menunjukkan tiga buah buku mengenai tanaman anggrek di tangan kanannya. Dan aku segera mengambil handphone yang ada di tasku. Memang benar, handphoneku lobet. Pantas saja sedari tadi handphone ku sama sekali tidak berdering.
          “Oh iya, kalau kamu sudah selesai, bolehkah aku mengantarmu pulang? Itupun kalau kamu tidak keberatan.” Virgo melanjutkan. Setelah membayar buku yang kami beli, kami memutuskan untuk langsung pulang saja karena hari sudah mulai malam. Dan lagi kamu juga masih berseragam sekolah.
          Kini, sepanjang perjalanan pulang aku dan Virgo tidak lagi saling berdiam diri. Kami saling bercengkrama satu sama lain. Kami bahkan lebih akrab dibanding sebelumnya. Virgo yang pendiam dan suka menutup diri ternyata asyik juga dijadikan teman ngobrol. Aku juga bertanya mengapa dia membeli buku tentang anggrek sewaktu di toko buku tadi. Dan setidaknya dengan pertanyaanku, aku mengetahui sedikit banyak tentang Virgo, mengenai hobinya dan koleksi anggrek yang dimilikinya. Bahkan ia berjanji padaku akan mengajariku cara menanam dan merawat tanaman anggrek.
          Taxi yang kami tumpangipun terus melaju tanpa hambatan. Hanya sekejab saja taxi yang kami tumpangi telah berhenti di depan rumahku. Baru saja aku akan membayar taxinya namun Virgo melarangku. Ia lalu melambai padaku dan berlalu dari pandanganku.
© © ©
          Aku mengalami pagi yang cukup indah hari ini. Udara yang segar namun tak cukup dingin telah mendorongku berjalan melalui jalan setapak, tak jauh dari rumah. Dan kini sampailah aku ditempat yang paling indah. Bukit terjal namun menyuguhkan pemandangan yang amat elok. Pemandangan seisi kota terkemas mungil bagai miniatur yang dibuat amat sempurna. Tak hanya udara segar yang dapat ku nikmati, disini kudapatkan ketenanganku. Aku seakan merasakan denyut nadi sebuah kehidupan. Semua permsalahanku terselesaikan disini. Semua kepenatanku sirna, bagai angin yang tak pernah kembali ke tempat dimana ia berasal. Meskipun awalnya, tempat ini juga menjadi tempat perpisahanku dengan teman semasa kacilku.
          Lama ku merenung. Bahkan aku hampir saja tak menyadari hujan mulai turun sampai akhirnya ada seseorang yang menarik tanganku dan mengajakku berlalu melawan buliran – buliran air hujan yang tanpa ampun membikin basah apa saja yang ada di permukaan bumi. Aku berteduh di sebuah gubuk tak terawat, mungkin sudah ditinggalkan oleh pemiliknya karena selama aku mengunjungi dan bermain disini tak pernah kudapati sebuah gubuk disekitar tempat ini.
          “Maaf, tadi aku langsung menyeretmu, La!” baru saja ku sadari aku bersama seseorang yang belum aku kenal. Dan, astaga! Kenapa dia tahu namaku? Kupandangi dia. Seorang pemuda yang berdiri di depanku kini sama basa kuyupnya sepertiku. Dia mengelap kaos biru yang ia kenakan dengan sapu tangan merahnya. Gayanya yang cupu serta kacamatanya yang bulat memberikan aksen lucu pada penampilannya.
          “Kamu, lupa sama aku ya, La?” pemuda itu melanjutkan.
          “Kamu ....!” aku mulai mengingatnya, namun bibir ini sulit sekali untuk berucap.
          “Igo...! Kamu Igo kan? Aku ingat kamu sekarang?” sontak aku terkaget. Igo, teman semasa kecilku yang tidak ku ketahui kabarnya kini kembali berada dihadapanku.
          “Gak usah sekaget itu kali, La!” ia membenahi posisi kacamatanya yang sedikit turun dengan jari tengahnya.
          “Go, kamu masih sama ya kayak Igo yang dulu. Gak berubah sama sekali.”
          “Salah satunya tetap cupu ya ?” sahut Irgo kemudian.
          “Sudah, lupain aja.” Aku tersenyum kecil pada Igo.
          “Go, sudah lama ya, kita gak pernah ketemu. Sudah berapa tahun ya?” lanjutku kemudian..
          “Sudah enam tahun. Enam tahun yang lalu kita berpisah di bukit ini. Dan sekarang di bukit inilah kita bertemu lagi.“ Igo melanjutkan ucapanku lalu terdiam. Ia seperti sedang memikirkan sesuatu.
          “La, aku sudah menepati janjiku kan? Janjiku untuk menemuimu disini! Emmmhh,,, sekarang aku harus pergi. Esok kita ketemu lagi disini ya. Aku akan menunggumu untuk makan siang.” lanjutnya kemudian.
          “Ta..tapi.. Go” Dan beberapa menit kemudian ia sudah lenyap dari pandanganku.
          Igo. Kenapa tanpa diduga muncul dihadapanku namun sekarang dalam sekejab saja ia sudah menghilang dari pandanganku. Bahkan, aku saja belum sempat menanyakan dimana ia tinggal sekarang. Tapi untuk saat ini aku tak membiarkan pikiranku terbalut oleh lamunan-lamunan yang mengusik logika.
© © ©
          Kali ini, Virgo tersenyum ramah dan memberiku selusin celotehan yang sama sekali tak pernah kudengar sebelumnya. Tanpa sadar akupun terbawa dalam suasana yang penuh keakraban itu. Sampai-sampai aku tak tahu bahwa sedari tadi ada dua pasang mata yang mengamati kami.
          “Ehemmm... wah yang lagi pedekate?” tiba – tiba saja Desy mencubit kedua pipiku.
          “Jangan-jangan kita ganggu  mereka lagi Des?” Robi ikut berceloteh sambil memberikan senyum nakal pada kami.
          “Kalian itu ada-ada saja. Kami Cuma ngbrol aja kok! Iyakan Go?” aku mencoba membela diri. Dan Virgo membalasku dengan anggukan.
          “Iya, Cuma ngobrol tapi sampai bikin kalian gak memperhatikan bel masuk kan?” lanjut Desy.
          “Emang udah bel ya?” Seperti dikomando saja. Tanpa sengaja aku dan Virgo melontarkan pertanyaan yang sama pada Desy dan Robi. Sontak saja itu membuat mereka semakin menjadi-jadi.
          “Tuch kan bener.. Ternyata uda sehati nih ?” Mereka tertawa nakal lalu segera berlari menuju kelas. Aku dan Virgo langsung saja menyusul mereka berdua. Lima menit kemudian pelajaran yang menguras energi segera disuguhkan pada kami.
© © ©
          Ntah sejak kapan Virgo keluar kelas karena bisa ku pastikan Virgo sudah benar-benar menghilang. Sedikit kecewa kurasa. Tapi tak apalah karena hari ini aku akan bertemu lagi dengan sahabat kecilku. Segera ku membereskan buku pelajaran yang masih berserakan. Tanpa menyapa Desy dan Robi aku lebih dahulu meninggalkan kelas.
          Emhhh... Siang yang cukup terik menurutku. Sang pemilik energi terbesar di galaksi bima sakti ini serasa mencengkeram tubuhku yang basah dengan kringat segar tanpa ampun hingga ubun-ubun ini terasa mendidih. Ingin sekali rasanya aku cepat-cepat sampai di bukit itu dan tentunya aku juga ingin segera bertemu dengan Igo.
          Setelah sekian menit aku bejalan menyusuri jalan setapak yang sedikit menanjak. Sampailah aku di tempat yang kutuju. Kulihat Igo sedang bersandar dibawah pohon rindang dengan sebuah buku yang sedang ia baca. Kemeja biru yang ia kenakan mengingatkan ku pada kebiasaannya tempo dulu.
          “Ehemm.. masih dengan kebiasaan yang sama nih ?” aku membangunkan Igo dari kekhusukannya membaca.
          “Kamu La. Bikin kaget aja! Maksudmu, kebiasaan yang mana ?”
          “Selalu pakai kemeja biru meskipun kamu sebenernya suka warna merah. Dan buku yang kamu baca pasti lagi-lagi tentang anggrek. Iya kan ?” penegasanku kemudian.
          “Ternyata kamu masih ingat ya, La. Hahaha.... Oh iya, kamu pasti belum makan siang. Ini aku sengaja bawa bekal buat kamu. Kamu makan ya..” Igo menyodorkan sebuah tepak makan sederhana untukku. Makanan kesukaan Igo, tahu dan telur rebus yang dibumbui dengan cabai merah dan tomat.
          “Masih ingat makanan kesukaanku, kan? Dan sekarang kamu harus memakannya.” Kata Igo kemudian.
          “Ya, tentu aku masih ingat. Jangan salahkan aku kalau menghabiskan bekal makan siangmu, Go.” Aku tersenyum pada Igo lalu melahap bekal makan siang Igo tanpa ragu. Di sela-sela itu juga kami juga saling bergurau satu sama lain.
          Sejak kejadian siang itu. Setiap pulang sekolah aku selalu ke bukit itu untuk menemui Igo. Kami selalu menghabiskan waktu bersama hingga senja tiba. Untuk hari ini Igo memintaku untuk menemuinya sore hari. Dan karena hari ini hari Minggu akhirnya kuputuskan untuk mengunjungi panti yang biasa kukunjungi dengan Igo enam tahun lalu. Sebelum aku beranjak pergi, mbok Yem mengetuk pintu kamarku.
          “Masuk aja mbok Yem. Pintunya nggak dikunci kok.”
          “Non, ini sudah mbok siapin puding yang mau non bawa ke panti. Dan ini....” mbok Yem tidak melanjutkan kata-katanya. Namun mbok Yem menyodorkan sepucuk surat dan buket bunga anggrek potong jenis Vanda yang tersusun rapi dan indah.
          “Dari siapa mbok?” tanyaku kemudian.
          “Dari pemuda yang waktu itu Non. Aduh,.. tapi mbok ndak tahu siapa namanya. Abis ditanya ndak ngaku sih non.”
          “Ya sudah. Makasih ya mbok. Oh iya, nanti bilangin ke mama ya, kalau Viola mau ke panti dulu.” Aku segera keluar kamar dan meninggalkan mbok Yem yang sedang menata sprei tempat tidurku yang sedikit berantakan.
          Sudah seminggu ini aku tidak berkunjung kesini. Namun rasanya aku sudah rindu sekali. Kulihat beberapa anak bermain di pelataran panti. Dan seorang wanita paruh baya sedang duduk di taman panti sambil mengawasi anak-anak yang sedang bermain. Beliau adalah Ibu Mawar, kepala panti asuhan ini. Beliau melambaikan tangan padaku dan melemparkan senyum yang ramah sewaktu aku mulai memasuki gerbang panti. Rina dan Doni yang sedari tadi bermain, kini berlari kearahku dan segera memelukku.
          “Rina, Doni, lihat nih... Kakak bawa puding kesukaan kalian. Jangan lupa, dibagi sama yang lain, ya!” 
          “Trimakasih, kak.” Mereka memelukku lagi lalu kembali bermain dengan temannya yang lain. Aku langsung menghampiri bunda yang ada di taman.
          “Assalamualaikum, Bunda.” Aku mencium tangan beliau lalu aku duduk disampingnya.
          “Waalaikumsalam. Bagaimana kabarnya nduk?”
          “Baik, bun. Bunda sendiri ?”
          “Alhamdulillah, Bunda juga baik-baik saja kok La. Oh iya, Viola, lihat disamping kamu.” Segera saja aku menoleh ke arah yang dimaksudkan bunda.
          “Wah, bunga anggreknya berbunga. Bagus sekali bunda. Siapa yang merawatnya selagi aku tidak berkunjung kesini?” ketika aku menoleh pada bunda, beliau hanya menyuruhku untuk pergi ketaman belakang panti. Segera saja aku beranjak dan menuruti apa kata bunda.
          Kulihat seorang pemuda berkaos biru sedang duduk di bangku taman dengan dua anak kecil duduk disampingnya, yang tak lain Fashya dan Lili. Aku tak langsung menyapanya, aku hanya mengamatinya. Betapa akrabnya pemuda itu dengan adik-adikku. Sepertinya mereka sudah berkenalan sejak lama. Siapa dia? Sepertinya tak asing. Apakah dia........?
          “Igo ?” pemuda itu langsung menoleh ke arahku, namun ternyata dugaanku salah.
          “Virgo, kenapa kamu ada disini?” tanyaku kemudian pada pemuda yang tak lain adalah Virgo, teman sekelasku.
          “Aku,, aku hanya kebetulan lewat dan kulihat di taman depan ada anggrek yang layu jadi kuputuskan untuk berkunjung ke sini. Aku kecewa sama kamu La, masak anggrek milikmu kau biarkan begitu aja.” Virgo langsung mendaulatku dengan tuduhan-tuduhan yang semakin memojokkan ku.
          “Iya, aku mengaku salah. Memang seminggu ini aku tak bisa berkunjung kesini. Tapi aku janji, tak akan kuulangi lagi.” Mendengar kata-kataku Virgo lalu tertawa lepas. Beberapa detik aku tak mengerti apa yang ia pikirkan, namun segera ku tersadar kini Virgo sedang meledekku.
          “Biasa aja Viola yang manis. Aku kan Cuma bercanda. Oh iya, tadi kamu manggil aku apa? Igo? Namaku kan Virgo bukan Igo?” sorot mata Virgo yang awalnya membiaskan candaan kini berubah menjadi serius. Aku duduk disamping Virgo, sementara Fashya dan Lili meninggalkan kami.
          “Kamu,, kamu mirip sekali dengan Igo. Igo itu sahabat kecilku. Kami berpisah enam tahun lalu.” Aku menarik nafas dan kemudian aku melanjutkan menceritakan semua, tentang Igo, dan semua yang telah kuulakukan dengan Igo di panti ini enam tahun lalu.
          “Lalu, sekarang dimana Igo?”  tanya Virgo kemudian.
          “Aku bertemu dengannya beberapa hari ini.” jawabku. Virgo menatapku dengan sorot mata aneh. Sedetikpun ia tak melepas pandangannya dariku. Aku jadi salah tingkah dibuatnya.
          “Go, kenapa kamu ngeliatin aku sampek segitunya sih? what`s wrong with me?” tanyaku agak kesal. Bukannya malah menjawab, Virgo malah tertawa. Tanpa berfikir panjang kuinjak kaki Virgo dan seketika itu pula Virgo meronta.
          “Aduwhh, sakit tahu. Nothing, gak ada yang salah. Cuma,,,,” Virgo memberi celah yang cukup panjang untuk melanjutkan kata-katanya. “Cuma saat kamu cerita tetang Igo, aku ngerasa kalau kamu bukan sahabatnya Igo, tapi pacarnya.” Wajah Igo yang sedari tadi berbinar kini beralih jadi masam.
          “Apaan sih. Aku emang beneran Cuma sahabatan sama Igo.” Aku mencoba membela diri. Namun Virgo tak bereaksi apa-apa. Dia hanya memberikan senyuman kecil padaku lalu beranjak bangkit. Sampai beberapa langkah diambilnya, baru ia menoleh padaku.
          “Lupain aja kata-kataku tadi. La, jangan lupa nanti sore! Di bukit biasa.” Tanpa menunggu jawabanku ia lalu bergegas mengambil langkah seribu dan lenyap dibalik rerumpun bougenvile merah. Dan kini aku hanya termenung. Apa yang dia maksud? Bukit? Bukit yang mana? Apa bukit yang sama?


Dear  Viola,                                                                    Surabaya, 15 April 2010

Jika sang waktu tak mampu lagi tuk berucap
Maka kan kubiarkan sang senja.........
Menutup erat goresan kasih ini,
Bisakah semenit saja tanpanya ?
Tanpa pula rasa yang mengecam tiada tara.
     Tuhan.....
     Aku ingin perpisahan ini menjadi perpisahan yang termanis
     Aku berharap hati kan tetap terjaga dalam ketenangannya
     Meski belum bisa menggapainya.
     Meski raga ini tak dapat berpeluk erat dengannya
Mungkin suatu saat
Harapan ini kan terbalas
Meski hanya dengan untaian kata
Yang semakin membuat sukma bergema.
V.P

       Dua kali surat ini kubaca. Siapa gerangan pengirimnya. Surat ini pun dikirim pada taggal yang sama. Hampir saja aku melupakan surat ini. namun untungnya mbok Yem meletakkannya kembali di meja kamarku. Anganku masih melayang, seakan tak menyatu dengan raga. VP? Inisial itu, apakah aku mengenalnya?
          Tapi tiba-tiba saja semua anganku terpental. Bagai tersmabar petir, aku hanya diam terpaku. Rasa ini, ternyata? Atau apakah dia? Segera ku berlari menuju bukit yang selama ini jadi persinggahanku di setiap akhir senja. Jalan yang terjal sekali lagi tak menghalangi langkahku. Dia? Dimana dia? Aku mencari-cari sosoknya. Dan aku menemukan sosok itu kembali bersandar di bebatuan besar masih dengan semua hal yang prnah dilakukannya sebelumnya.
          “Igo,” sapaku lemah. Nafasku begitu tersengal.
          “Igo, apa maksud semua ini? Virgo Permadi atau Virgo Pratama?” lanjutku.
          Igo mengangkat mukanya. Ia melepas kacamatanya dan meletakkan buku yang sedari tadi jadi pusat perhatian utamanya.
          “Kamu sudah menyadarinya, Viola. Maaf kalau caraku ini.....”
          “Apa! Puaskah kamu telah berpura-pura selama ini! membohongiku dan kemudian menjebakku dalam cerpen kehidupanmu! Tahukah kamu betapa aku.......“ aku terdiam. Karena kini, ia menggenggam tanganku.
          “Dengarkan aku Viola, aku punya alasan untuk semua ini. Aku mengganti namaku dan bertemu denganmu untuk yang pertama kalinya setelah kita berpisah dengan penampilan yang sungguh sangat jauh berbeda. Karena aku sangat berharap, suatu saat nanti kita bisa berbagi hati, saling memiliki dan tentunya bukan sebagai sahabat semata. Kau tahu maksudkukan?” Virgo menatapku dan mata kami saling bertemu. Entah saat itu apa yang kurasa. Semua bagaikan magic menurutku. Aku mulai menata kata karena sedari tadi mulutku serasa terkatup erat.
          “Ta...Tapi. Sosok yang kusukai adalah Igo. Sulit bagiku untuk menerima ini semua.” Aku tertunduk.
          “Viola, aku tahu semua butuh proses. Aku takkan memaksakan kehendakku padamu. Karena saat ini, yang ku mau hanyalah perpisahan yang termanis antara kau dengan Igo dan selanjutnya kamu dapat menerima semua perubahan pada dirinya sekarang.”
          Virgo memelukku erat. Dan airmataku kini tak dapat terbendung lagi. Bahkan akupun tak tahu, apakah ini akhir yang membahagiakan atau justru akhir yang menyedihkan. Aku hanya mengangguk lemah dengan semua kata-kata Virgo. Semua orang butuh perubahan, kurasa ada benarnya juga. Dan kini kan kucoba menerima dia, dengan sisi lainnya. Sama seperti ketika aku pertama kali mengenalnya, sebagai sosok Igo.


©The end©

Tidak ada komentar:

Posting Komentar